REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa kondisi, waktu seolah berlalu begitu cepat. Sebaliknya, pada kesempatan lain, waktu terasa berjalan sangat lambat. Padahal, waktu tentunya punya laju sama setiap saat. Ternyata, ada beberapa hal yang memengaruhi persepsi terhadap waktu.
Ada dua teori utama yang mengemuka. Salah satunya berkaitan dengan usia, yang lain dengan bagaimana seseorang memanfaatkan waktu yang dimiliki. Teori pertama datang dari Adrian Bejan, profesor termodinamika di Duke University, Amerika Serikat.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan dalam jurnal European Review pada 2019, Bejan menyoroti bahwa hari-hari pada masa kanak-kanak terasa begitu lamban dan tak ada habisnya. Itu karena kecepatan manusia memproses informasi visual lebih tinggi.
Seiring bertambahnya usia, jaringan di otak tumbuh lebih kompleks. Setiap sinyal ke otak membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk diproses. Karena memproses lebih sedikit informasi visual dalam rentang tertentu, waktu terasa berlalu lebih cepat.
Dikutip dari laman Hindustan Times, Sabtu (17/6/2023), perbandingan itu seperti prosesor komputer. Bayangkan prosesor baru di komputer keluaran teranyar, dibandingkan prosesor yang lebih lama di perangkat dengan drive yang sangat terfragmentasi.
Pada teori lain, persepsi atas waktu dipengaruhi oleh situasi yang dialami atau apa yang sedang dilakukan seseorang. Contohnya, ketika seseorang mengalami kecelakaan, peristiwa tersebut terasa berlangsung dalam gerakan lambat.
Penyebabnya adalah karena otak berada dalam keadaan siaga tinggi. Sebagai hasilnya, otak memproses lebih banyak informasi per detik. Ide ini dikemukakan oleh profesor ilmu saraf kognitif di Dartmouth College, Peter Tse, yang mempelajari persepsi waktu.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal Perception & Psychophysics pada 2004, Tse mencatat bahwa perluasan waktu yang subjektif terkait dengan tingkat perhatian. Begitu pula efek dari tingkat perhatian tersebut pada jumlah informasi yang diproses.
Di satu titik ekstrem, contoh situasinya adalah kondisi siaga kecelakaan mobil (yang bisa terasa terjadi dalam gerak lambat). Pada ujung ekstrem lainnya adalah tindakan scrolling media sosial (tak terasa sudah tiga jam berlalu), karena seseorang tidak benar-benar memproses sebagian besar informasi yang ditampilkan.
Di antara dua ekstrem itu, ada kesibukan harian dari pengulangan yang relatif pasif dari rutinitas yang sama. Dalam periode kurangnya tingkatan perhatian ini, menurut teori Tse, persepsi waktu diubah ke arah yang berlawanan. Jika waktu terasa melaju kencang, hanya ada sedikit ingatan tentang detailnya.
Selama pandemi Covid-19 silam, sebagian orang mungkin merasa waktu lebih dari dua tahun berlalu dengan cepat. Kemungkinan penyebabnya adalah kurangnya rangsangan eksternal, juga rutinitas dan rasa tidak berdaya yang relatif sama setiap hari.
Untuk memperbaiki rasa "kehilangan waktu", para pakar menyarankan untuk memberikan perhatian aktif pada tugas dan aktivitas. Jika memungkinkan, gabungkan sejumlah rutinitas untuk memunculkan efek kebaruan sehingga timbul persepsi bahwa waktu jadi melambat.
Satu hal yang tidak boleh dilakukan adalah menyebut waktu yang terasa lebih cepat sebagai time blindness atau "kebutaan waktu". Istilah itu belakangan muncul secara sporadis di media sosial, dan sebenarnya tidak boleh digunakan secara sembarangan
Kebutaan waktu adalah kondisi yang terkait dengan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (ADHD), gejala seumur hidup yang dapat memengaruhi fungsi dan tugas sehari-hari. Jika seseorang tidak didiagnosis ADHD, maka bukan kondisi itu yang dialami.