Senin 12 Jun 2023 12:31 WIB

Resepsi Pernikahan Banyak yang Standing Party, Muslim Boleh Makan Sambil Berdiri?

Rasulullah SAW telah mencontohkan adab makan-minum seorang Muslim.

Rep: Santi Sopia/ Red: Reiny Dwinanda
Makan sambil berdiri (Ilustrasi). Sebagian ulama ada yang berpendapat makan sambil berdiri adalah makruh. Namun, kalaupun makruh, tetap saja itu berarti harus dihindarkan.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai Muslim, makanan dan minuman yang dikonsumsi harus memenuhi unsur halal dalam prinsip Islam. Di samping itu, makan dan minum juga ada adab dan akhlaknya sesuai contoh teladan dari Rasulullah SAW.

Hal ini juga diingatkan dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 168. Dalam etika duniawi, orang mungkin sering mendengar istilah "standing party", mengacu pada cara makan dan minum sambil berdiri, yang biasanya dilakukan di pesta pernikahan atau acara perayaan tertentu. 

Baca Juga

Bagaimana standing party dipandang dalam Islam? Menurut laman NU Online, ada perbedaan pendapat ulama mengenai masalah makan sambil berdiri.

Jika dilakukan karena suatu hajat, makan sambil berdiri diperbolehkan. Lain halnya jika tidak ada hajat sama sekali maka itu menyalahi yang utama dan tidak disebut makruh.

Merujuk kepada hadist sahih Bukhari (mungkin maksudnya At-Tirmidzi dan Ibnu Majah-pent.), dari riwayat sahabat Ibnu Umar RA bahwa para sahabat nabi melakukannya (makan sambil berdiri). Riwayat ini didahulukan daripada riwayat dalam Shahih Muslim dari sahabat Anas RA bahwa ia menyatakan makruh. (Imam An-Nawawi, Fatawal Imam An-Nawawi, (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018 M/1439 H), halaman 73).

Untuk mengakomodasi kedua dalil ini, makan sebaiknya dilakukan sambil duduk sebagai praktik yang dianjurkan karena lebih dekat pada keutamaan, keafdalan atau aula. Dikutip dari laman MUI, Ahad (11/6/2023), di antara adab atau akhlak yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW perkara makan atau minum adalah harus dengan tangan kanan dan tidak sambil berdiri.

Sudah sepatutnya sebagai Muslim memperhatikan adab ini, dan tidak meremehkannya. Itu dilakukan sebagai upaya untuk menaati Allah dan Rasul-Nya serta usaha meneladani Nabi.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan sebagian ulama memang ada yang berpendapat makruh. Namun, kalaupun makruh, tetap saja itu berarti harus dihindarkan.

Jelas, tidak semestinya kita menentang sabda Rasulullah SAW. Andaikan seseorang bersikeras bahwa itu "hanya" makruhnya, maka yang perlu ingat ialah sejatinya yang makruh itu pun harus dijauhi, bukan malah melakukannya, apalagi menjadikannya sebagai kelaziman/kebiasaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement