Kamis 25 May 2023 00:45 WIB

Setoran Awal Haji Dibiayai dengan Utang, Bagaimana Hukumnya?

MUI telah mengeluarkan fatwa tentang pembayaran setoran awal haji dengan utang.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Reiny Dwinanda
Jamaah calon haji (Calhaj) Kloter 3 saat menunggu pengesahan kesehatan di Asrama Haji Embarkasi Jakarta-Bekasi, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (24/5/2023). Untuk setoran awal haji, masyarakat Muslim dapat menggunakan uang yang dananya bersumber dari utang. Hanya saja, ada sejumlah syarat yang mengiringinya.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menunaikan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Sebelum melaksanakan ibadah ini, masyarakat Muslim tentunya harus membayar setoran awal biaya haji.

Bagaimana jika belum punya cukup uang untuk membayar setoran awal biaya haji? Apakah sumber dananya boleh dari utang?

Baca Juga

Terkait hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa nomor 004/MUNAS X/ MUI/XI/2020 tentang pembayaran setoran awal haji dengan utang dan pembiayaan. Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada 26 November 2020.

Dilansir laman MUI.or.id, Rabu (24/5/2023), ada dua ketentuan dalam fatwa tentang pembayaran setoran awal haji dengan utang dan pembiayaan, yakni ketentuan umum dan ketentuan hukum.

Ketentuan umum merinci apa yang dimaksud dengan utang dan pembiayaan. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan utang adalah harta yang diperoleh seseorang dengan ketentuan akan mengembalikan senilai dengan harta tersebut kepada pihak yang berpiutang, sementara pembiayaan adalah fasilitas penyediaan dana yang diperoleh dari lembaga keuangan.

Kedua, ketentuan hukum. Bagian ini mengungkapkan bahwa:

1. Pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah), dengan syarat: bukan utang ribawi; dan orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

2. Pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya boleh dengan tiga syarat, yaitu menggunakan akad syariah, tidak dilakukan di lembaga keuangan konvensional; dan nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement