REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revenge porn merupakan bentuk kejahatan siber yang dapat membuat korban merasa sangat terhina dan tak berdaya. Kejahatan revenge porn dapat membuat korban mengalami banyak kerugian, mulai dari kerugian secara mental hingga finansial.
Secara umum, revenge porn dikenal pula dengan istilah pornografi nonkonsensual. Revenge porn merujuk pada aktivitas pendistribusian gambar, video, atau pesan bernuansa intim tanpa izin.
Sebagai contoh, korban pernah mengirimkan foto intim kepada mantan pasangan saat mereka masih menjalin hubungan. Lalu, sang mantan pasangan mengunggah foto serta identitas korban di media sosial tanpa sepengetahuan korban.
Pelaku revenge porn tidak terbatas pada pasangan atau mantan pasangan saja. Peretas juga bisa mencuri foto hingga video pribadi korban dan mendistribusikannya ke forum daring tanpa sepengetahuan korban.
Dalam beberapa kasus, penyebaran foto hingga video intim korban turut disertai dengan ancaman dari pelaku. Ancaman dalam bentuk menyebarkan foto atau video intim demi mendapatkan timbal balik ini dikenal dengan istilah sextortion.
Timbal balik yang diinginkan oleh pelaku kejahatan sextortion bisa berupa apa saja, mulai dari uang hingga melakukan hubungan seksual dengan korban. Oleh karena itu, sextortion dianggap sebagai bentuk kejahatan siber yang serius.
Ada banyak alasan yang membuat korban bisa menjadi target revenge porn atau sextortion. Sebagian di antaranya adalah kecemburuan, ketidakcukupan seksual, ketakutan, misogini, atau dendam.
Revenge porn dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk sexual abuse atau kejahatan seksual. Korban revenge porn bisa merasakan dampak yang luar biasa dari tindak kejahatan seksual ini.
Secara umum, korban umumnya akan merasa sangat terekspos, malu, dan takut untuk muncul ke muka publik. Di sisi lain, korban juga kerap dihantui rasa bersalah dan malu yang intens hingga membuat korban tak bisa meminta bantuan dari orang lain. Pada akhirnya, korban akan terisolasi secara sosial.
Meski gambar atau video korban di internet sudah dihapus, ketakutan yang dirasakan korban tak akan bisa hilang dengan mudah. Rasa trauma hingga khawatir bisa terus menghantui korban dalam waktu lama. Beragam masalah kesehatan mental seperti gangguan kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma atau PTSD juga kerap menghantui korban revenge porn.
Dari segi materiil, korban bisa kehilangan banyak uang untuk memenuhi keinginan pelaku sextortion. Bila foto atau video intim korban menyebar luas, korban juga bisa kehilangan reputasi dan bahkan pekerjaan.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh korban bila menghadapi masalah revenge porn atau sextortion. Berikut ini adalah empat hal di antaranya, seperti dilansir laman HelpGuide.
1. Meminimalisasi kerugian
Korban dapat meminta platform media sosial untuk menghapus foto atau video intim mereka yang disebarkan tanpa izin. Bergantung pada lokasi korban, ada sejumlah organisasi dan saluran bantuan yang bisa mendampingi korban untuk meminta penghapusan foto dan video intim korban di berbagai media sosial.
Korban juga dapat melaporkan tindakan revenge porn atau sextortion kepada pihak yang berwajib. Sebelum melakukan pelaporan, korban perlu mempersiapkan bukti yang kuat. Seperti tangkapan layar berisi pesan ancaman dari pelaku yang ingin menyebarkan foto dan video intim korban.
2. Menanggulangi rasa bersalah dan malu
Korban revenge porn atau sextortion sering kali dihantui oleh rasa bersalah yang hebat. Namun, korban perlu mengingat bahwa satu-satunya pihak yang bersalah adalah pelaku yang menyebarkan konten intim korban.
Korban juga dianjurkan untuk berfokus pada kualitas positif yang mereka miliki. Selain itu, korban disarankan untuk lebih meningkatkan rasa kasih kepada diri sendiri, seperti layaknya memberikan perhatian kepada teman dekat.
Bila perlu, korban dapat menceritakan keluh kesah kepada orang yang dapat dipercaya. Orang terpercaya ini bisa berupa teman, anggota keluarga, atau tenaga kesehatan mental profesional seperti psikolog. Berbagi cerita dengan orang yang terpercaya dapat membantu korban untuk lebih kuat menghadapi situasi mereka.
3. Mengelola stres dan trauma
Ada beberapa hal yang dapat membantu meringankan rasa stres dan trauma yang dirasakan korban. Salah satunya adalah dengan berolahraga karena aktivitas ini dapat menurunkan hormon stres.
Korban juga dapat menerapkan praktik mindfulness untuk meredakan kecemasan atau stres secara umum. Opsi lainnya adalah melakukan aktivitas yang merelaksasi seperti yoga.
Meminta bantuan dari tenaga kesehatan mental profesional pun sangat dianjurkan bagi korban. Khususnya, bila korban mengalami gejala PTSD yang berkepanjangan dan membuat korban sulit menjalani keseharian.
4. Berhati-hati
Pesan, gambar, hingga video yang sudah dikirimkan kepada orang lain tak bisa dibatalkan. Agar kejadian serupa tak terulang di masa depan, korban bisa melakukan beberapa upaya pencegahan.
Salah satu di antaranya adalah berpikir dua kali sebelum mengirimkan suatu pesan. Selain itu, korban juga dianjurkan untuk membuat batasan dalam percakapan dengan pasangan. Bila pasangan memaksa korban untuk membagikan foto atau video intim, korban dianjurkan untuk menolaknya dengan tegas.
Bila ingin berbagi foto atau video intim dengan pasangan yang sah, pastikan metode berbagi foto atau video yang digunakan itu aman. Anjurkan pula pasangan untuk tidak membuka foto atau video intim tersebut di tempat publik dan minta pasangan untuk segera menghapusnya.