Kamis 11 May 2023 08:38 WIB

Asma karena Polusi, Apakah Harus Pindah Kota?

Polusi dan kualitas udara yang buruk bisa memicu kekambuhan pada penderita asma.

Rep: Santi Sopia/ Red: Natalia Endah Hapsari
Pasien asma di Indonesia cenderung menggunakan inhaler pelega SABA dibandingkan yang memiliki ICS   (ilustrasi)
Pasien asma di Indonesia cenderung menggunakan inhaler pelega SABA dibandingkan yang memiliki ICS (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Polusi dan kualitas udara yang buruk bisa saja memicu kekambuhan pada penderita asma. Menurut Dokter Spesialis Paru HM Yanuar Fajar, polusi tidak hanya bisa menyebabkan asma, tetapi juga dapat mengarah pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

Lantas, perlukah penderita asma pindah kota untuk menghindari polusi? Dokter Yanuar menjawab hal itu tentu sah-saja. Bahkan, sering kali menjadi satu-satunya jalan bagi penderitanya dalam kondisi tertentu. Tentu mencari udara segar juga baik. “Misalnya saya bercanda di rumah sakit, saya bilang satu-satunya jalan pindah kota,” kata dia di Jakarta.

Baca Juga

PPOK bisa lebih berbahaya karena kondisinya menandakan semakin buruknya kesehatan. Penderita PPOK bisa merasakan kondisi semakin jelek, sementara asma dapat dikontrol atau bahkan sembuh untuk jenis asma kerja.

Lebih jauh, dokter dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tersebut juga menyatakan, pasien asma di Indonesia cenderung menggunakan inhaler pelega Short Acting Beta Agonist (SABA) dibandingkan yang memiliki ICS (anti-inflamasi melalui inhaler).

SABA dirasakan dapat memberi efek lega secara cepat, dan telah menjadi lini pertama terapi asma sejak lama. Sebenarnya, penggunaan inhaler pelega SABA secara teratur, dapat mengurangi efek atau manfaatnya, sehingga untuk mendapatkan efek yang sama, diperlukan lebih banyak inhalasi atau obat. Terlebih lagi penggunaan SABA secara berlebih dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan asma, rawat inap karena asma, bahkan kematian.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement