REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pil kontrasepsi bagi pria mungkin akan segera hadir dalam waktu dekat. Para ilmuwan telah mengidentifikasi sebuah gen yang bisa membuat sperma menjadi tidak subur untuk sementara waktu.
Tim peneliti dari Washington State University (WSU) telah mengidentifikasi ekspresi gen Arrdc5 pada jaringan testis tikus, babi, sapi, dan manusia. Hal ini diharapkan dapat membuka jalan bagi terciptanya bentuk kontrasepsi baru yang aman dan efektif.
Seperti yang dirinci dalam jurnal Nature Communications, ketika peneliti menghilangkan gen tersebut pada tikus, gen Arrdc5 menciptakan infertilitas (kemandulan) pada tikus jantan. Itu kemudian berdampak pada jumlah, pergerakan, dan bentuk sperma sehingga tidak mampu membuahi sel telur.
Pil kontrasepsi yang berpotensi menjadi terobosan bersejarah ini juga tidak memiliki efek samping hormonal dan diperkirakan dapat digunakan pada hewan untuk mengatasi kelebihan populasi dan menggantikan pengebirian. Yang terpenting, destabilisasi protein infertilitas tidak bersifat permanen, yang berarti sperma akan pulih kembali setelah orang atau hewan berhenti minum pil.
Dokter Jon Oatley, penulis senior dan profesor di WSU School of Molecular Biosciences menjelaskan bahwa penelitian ini mengidentifikasi gen Arrdc5 untuk pertama kalinya untuk diekspresikan di jaringan testis dan tidak di tempat lain di dalam tubuh. Gen ini juga diekspresikan oleh beberapa spesies mamalia.
"Ketika gen ini dinonaktifkan atau dihambat pada pria, mereka membuat sperma yang tidak dapat membuahi sel telur, dan itu adalah target utama untuk pengembangan kontrasepsi pria," kata Oatley, seperti dikutip dari Express, Rabu (19/4/2023).
Pil ini tidak bertujuan menghapus kemampuan untuk membuat sperma, hanya untuk menghentikan sperma yang sedang dibuat agar tidak dibuat dengan benar. Dr Oatley menjelaskan, gen Arrdc5 spesifik untuk testis pria dan dapat ditemukan pada beberapa spesies mamalia.
Para peneliti menemukan bahwa menghilangkan gen tersebut menyebabkan infertilitas yang signifikan dengan menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai oligoasthenoteratospermia (OAT). Kondisi ini merupakan diagnosis paling umum dari infertilitas pria pada manusia, yang menyebabkan penurunan sperma yang diproduksi, serta sperma menjadi lebih lambat dan bentuknya berubah, sehingga sperma tidak dapat menyatu dengan sel telur.
Tim WSU mengamati tikus jantan yang tidak memiliki gen tersebut dan menemukan bahwa mereka memproduksi sperma 28 persen lebih sedikit dan bergerak 2,8 kali lebih lambat daripada tikus normal. Hampir semua (98 persen) sperma pada tikus yang tidak memiliki gen Arrdc5 juga cacat, dengan kepala dan bagian tengah yang tidak normal.