Ahad 16 Apr 2023 03:47 WIB

Bisa Dipenjara Kalau tak Ngaku Pakai Filter, Ini Tanggapan Influencer Prancis

Jika terbukti ada pelanggaran, influencer bisa dikenakan hukuman penjara dan denda.

Rep: Santi Sopia/ Red: Natalia Endah Hapsari
Pemerintah Prancis menegaskan influencer harus tunduk pada aturan yang sama dengan media tradisional. (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Pemerintah Prancis menegaskan influencer harus tunduk pada aturan yang sama dengan media tradisional. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS---Prancis membuat rancangan undang-undang (RUU) untuk mengatur sektor influencer di media sosial. Salah satunya mewajibkan influencer memberi tanda kalau foto atau video yang mereka unggah menggunakan filter.

Senat akan melakukan pungutam suara pada Mei mendatang. Jika terbukti ada pelanggaran, influencer bisa dikenakan hukuman penjara dan denda.

Baca Juga

Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire mengatakan dalam sebuah wawancara dengan media lokal bahwa influencer harus tunduk pada aturan yang sama dengan media tradisional. Dia mengatakan bahwa internet bukanlah Wild West (istilah untuk kondisi yang liar dan sulit diatur).

Pihak berwenang mengatakan RUU itu juga akan menguntungkan para influencer, mengklarifikasi hak dan kewajiban mereka di bawah hukum Prancis. Bagaimana tanggapan influencer Prancis?

Gaelle Prudencio, seorang influencer Prancis yang mempromosikan kepositifan tubuh dan memiliki merek pakaian ukuran plus, turut mendukung RUU tersebut. Dia mengakui bahwa influencer adalah bentuk pekerjaan nyata dan melindungi konsumen.

Prudencio percaya bahwa banyaknya gambar yang diedit secara berlebihan di media sosial dapat membahayakan anak muda yang belum membentuk identitas mereka sendiri. Remaja dapat benar-benar melupakan kenyataan. “Dan besoknya menemukan diri mereka membuat janji dengan ahli bedah untuk melakukan operasi kosmetik ini atau itu," kata dia, seperti dikutip dari Washington Post, Sabtu (15/4/2023).

Namun, menurut dia, lebih penting untuk benar-benar merenungkan alasan menggunakan filter, daripada sekadar membatasi penggunaannya. Pihaknya tidak mendorong anak muda untuk menjadi unik dan memiliki ciri khas dengan alasan diperlukan debat yang lebih lengkap mengenai peran media populer terhadap citra tubuh. Selain itu, terkait bagaimana hal ini memengaruhi citra tubuh.

Beberapa ahli juga menyatakan bahwa penafian dan label untuk gambar yang diedit belum tentu membantu audiens, dan bahkan mungkin memperburuk keadaan dengan menarik lebih banyak perhatian ke gambar tersebut. Tidak jelas sejauh mana influencer di Prancis mendukung RUU tersebut.

Sebuah serikat pekerja yang mewakili influencer bekerja dengan legislator pada RUU tersebut, mengatakan bahwa mereka mendukung undang-undang tersebut. Tetapi mereka juga mengorganisir surat terbuka yang seolah-olah ditandatangani oleh 150 influencer.

Surat itu mendesak anggota parlemen tidak menyatukan mereka dengan apa yang disebut sebagai “minoritas” influencer dengan “meragukan praktik bisnis”. Influencer menyebut tentu diri mereka tidak sempurna.

“Kami telah membuat kesalahan. Tapi prioritas kami adalah dan akan selalu menjadi perlindungan konsumen, komunitas kami. Menganggap kami sebagai ancaman berarti mendiskreditkan dan membenci bagian dari pemuda Prancis,” lanjut isi surat itu.

Surat itu menuai kontroversi karena para kritikus menuduh para influencer tidak memahami undang-undang tersebut. Beberapa influencer secara terbuka menarik tanda tangan mereka atau mengklaim bahwa mereka tidak pernah menandatangani surat tersebut. Serikat pekerja kemudian menyesalkan bahwa karya itu "dianggap buruk".

Arthur Delaporte, anggota Parlemen yang ikut mensponsori RUU tersebut, mengatakan tujuannya bukan untuk menghakimi atau menjelekkan para influencer. Pemerintah tidak ingin menyalahkan. Justru membuat undang-undang untuk membuat sektor ini lebih bertanggung jawab.

"Untuk mengatakan, kami memiliki kerangka kerja, kami memiliki aturan, jika Anda tidak menghormatinya ... Anda harus mengubah praktik Anda. Ini lebih sehat,” kata Delaporte.

Prancis bukanlah negara pertama yang berusaha mengatur cara influencer menggunakan filter. Pada tahun 2021, anggota parlemen di Norwegia mengesahkan undang-undang yang memaksa pemberi pengaruh dan pengiklan untuk memberi label pada foto yang telah diedit.

Tahun lalu, sebuah laporan dari majelis rendah Parlemen Inggris mendesak pemerintah untuk "memperkenalkan undang-undang yang memastikan gambar komersial diberi label dengan logo di mana setiap bagian tubuh, termasuk proporsi dan warna kulitnya, diubah secara digital. Tetapi Delaporte mengatakan proposal RUU Prancis adalah satu-satunya karena berusaha mengatur seluruh "rantai pengaruh", dari pemberi pengaruh hingga agen mereka.

RUU juga menyentuh masalah ekonomi, kesehatan masyarakat, dan tenaga kerja. Dia berharap negara-negara lain akan mengikuti jejak Prancis. Influencer dan pengguna internet, kata dia, adalah subjek yang terkadang memiliki batas. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement