REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- AIDS Healthcare Foundation (AHF) mendesak perusahaan biofarmasi raksasa Gilead Sciences Inc menangguhkan hak kekayaan intelektual (paten) terhadap sejumlah obat HIV/AIDS dan hepatitis. AFH ingin Gilead Sciences turut membantu negara-negara berkembang dapat mengakses obat-obatan tersebut guna mencegah penyebaran penyakit HIV/AIDS dan hepatitis agar tak semakin meluas.
"Kami berharap Gilead Sciences Inc lebih mengedepankan kemanusiaan di atas laba atau profit perusahaan," ujar AHF Asia Bureau Chief Dr. Chhim Sarath belum lama ini seperti dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/4/2023).
Gilead Sciences Inc selama ini dikenal sebagai perusahaan biofarmasi yang berbasis di Foster City, California, Amerika Serikat (AS). Perusahaan ini meneliti, mengembangkan dan mengkomersialkan obat-obatan. Perusahaan AS tersebut berfokus terutama pada obat antivirus yang digunakan dalam pengobatan HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan influenza, termasuk dua obat hepatitis C, yakni Harvoni dan Sovaldi.
Chhim Sarath mengatakan, adanya paten atas sejumlah obat tersebut, di antaranya Truvada untuk HIV/AIDS dan Harvoni untuk hepatitis C menjadikan obat tersebut sangatlah mahal dan susah dijangkau oleh masyarakat di negara-negara berkembang. Ia mencontohkan, obat hepaptitis C yang paling efektif berharga 1,000 dolar AS per pil. Sedangkan versi generik dari obat yang sama hanya dijual 4 dolar AS per pil di India.
Namun menurut Médecins Sans Frontières, Gilead Sciences telah mengecualikan 50 negara-negara berpenghasilan menengah dari akses ke harga obat generik yang lebih murah tersebut. Negara-negara ini termasuk di antaranya Jamaika, Tunisia, Filipina, Ukraina, dan Venezuela.
AHF, kata Chhim Sarath, tidak menampik bahwa sebuah bisnis tentu akan mencari dan membutuhkan profit alias laba. Namun, menurutnya, jangan sampai target-target nominal perusahaan tersebut justru mengancam dan mengorbankan banyak nyawa manusia.
Oleh karena itu, lanjut Chhim Sarath, secara global AHF terus mendesak agar Gilead Science Inc maupun perusahaan farmasi lainnya untuk mencabut paten dan menurunkan harga obat-obatan sehingga masyarakat di negara berpenghasilan rendah dan menengah mampu mengaksesnya. "Semoga tuntutan ini bisa dan mau didengar oleh perusahaan farmasi karena bagaimanapun nyawa manusia adalah segalanya," katanya berharap.