REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stres dapat berdampak besar pada tubuh, termasuk memicu perubahan fisik. Stres mengaktifkkan sistem saraf simpatik tubuh yang fungsi utamanya yaitu mengaktifkan respons fight or flight (lawan atau lari).
Cleveland Clinic menjelaskan, sistem saraf simpatik berfungsi untuk mempercepat denyut jantung, mengembangkan pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah, atau respons lain untuk membantu Anda keluar dari bahaya. Meskipun respons ini dapat membantu untuk melawan atau melarikan diri dari situasi atau tekanan, jika dipicu dengan cara yang tidak perlu atau kronis, stres dapat membuat tubuh sakit.
Lantas apa saja gejalanya? Menurut psikiater sekaligus Director of Wellness, Engagement, and Outreach di Departement of Psychiatry Washington University School of Medicine, dr Jessi Gold, ada berbagai macam gejala fisik dan mental yang berkaitan dengan stres kronis.
“Stres kronis adalah sesuatu yang pasti muncul di otak dan tubuh dan menggambarkan hubungan antara keduanya,” kata dr Gold seperti dilansir laman USA Today, Jumat (7/4/2023).
Beberapa contoh gejalanya meliputi sakit kepala, gangguan pencernaan, menggemeretakkan gigi (teeth grinding), insomnia, kelelahan, sering lupa, hingga kesulitan berkonsentrasi. Bahkan menurut Gold, kadang-kadang penderita akan menjadi lebih mudah marah, atau menghindar dari orang lain.
“Hal itu mungkin membuat mereka berhenti merespons pesan teks atau membatalkan rencana, misalnya. Mereka juga mungkin juga beralih ke alkohol atau penggunaan narkoba untuk mengatasinya,” jelas dr Gold.
Dr Gold mengatakan, stres juga bisa memicu rasa mual. “Saya merasa mual” adalah frasa untuk menggambarkan situasi yang sangat mengganggu atau membuat stres.
“Hal ini mungkin menjadi bagian dari leksikon kita karena stres memang bisa membuat seseorang muntah,” kata dia.
Ketika refleks "melawan atau lari" dalam keadaan penuh, tubuh akan mengalihkan lebih banyak darah ke area-area yang membutuhkan lebih banyak oksigen, misalnya otot-otot kaki untuk melarikan diri. University of Chicago menulis bahwa hal ini dapat berdampak negatif pada motilitas usus, atau cara usus dan perut kita meremas dan memindahkan limbah ke seluruh tubuh. Selain itu, stres juga dapat memengaruhi keseimbangan bakteri dalam usus kita, yang menyebabkan ketidaknyamanan pencernaan.
Stres juga bisa memengaruhi cara kerja otak. Menurut profesor ilmu saraf di Arizona State University, dr Cheryl Conrad, otak merespons stres dan semua jenis hormon dengan cara yang sangat plastis. Ketika otak mengalami plastisitas, itu berarti otak mengalami perubahan struktur atau fungsi.
“Kortisol mengubah cara neuron merespons satu sama lain, reseptor yang diekspresikan dan ketika stres menjadi kronis, neuron mengubah fungsinya. Hal ini tidak hanya terjadi pada stres, hormon ovarium juga mengubah neuron,” kata Dr Conrad.
Menurut Conrad, perubahan ini tidak selalu merupakan hasil yang buruk. Jika stres kronis menyebabkan seseorang mengembangkan kebiasaan mengatasi stres, itu adalah mekanisme bertahan hidup yang sedang bekerja. Itu adalah hal yang baik.
Gold memiliki beberapa rekomendasi untuk mengobati stres kronis dengan menggunakan pendekatan holistik. Cobalah meluangkan waktu, bahkan lima menit untuk diri sendiri dan melakukan sesuatu yang disukai, dinilai bisa menjadi cara untuk merilis stres.
Dia menyarankan untuk meakukan apapun yang Anda suka. Tapi beberapa orang menemukan bahwa olahraga, membuat jurnal, sangat membantu mengurangi stres. Tidur dan makan juga penting untuk diperhatikan.
"Hal ini termasuk belajar untuk memiliki batasan yang lebih ketat antara pekerjaan dan privasi, untuk mengatakan tidak, atau menetapkan batasan, dan lainnya,” jelas Gold.
Selain itu, Anda juga disarankan untuk memeriksakan diri ke dokter tentang gejala fisik atau emosional yang mungkin dialami. Pasalnya bisa jadi terdapat kondisi kesehatan yang mendasari atau sekunder.
Gumanti Awaliyah
Sumber https://www.usatoday.com/story/life/health-wellness/2023/04/03/can-stress-make-you-sick-symptoms-throwing-up-impacts-body/11591550002/