Senin 03 Apr 2023 23:53 WIB

Sosiolog Sebut Kebiasaan Belanja Barang Mewah Bisa Dipengaruhi Orang Terdekat

Kelompok referensi dapat memengaruhi kebiasaan berbelanja seseorang.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Gita Amanda
Tas mewah (ilustrasi).  Sosiolog Juliet Schor dari Boston College di Amerika Serikat mengatakan kelompok referensi dapat memengaruhi kebiasaan berbelanja seseorang.
Tas mewah (ilustrasi). Sosiolog Juliet Schor dari Boston College di Amerika Serikat mengatakan kelompok referensi dapat memengaruhi kebiasaan berbelanja seseorang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebiasaan berbelanja barang mewah bukan hanya merupakan pengaruh dari terpaan iklan atau media massa. Menurut sosiolog, konsumerisme sangat mungkin dipengaruhi orang terdekat, yang disebut sebagai kelompok referensi.

Hal ini terkait dengan kasus yang tengah jadi sorotan publik, yakni keluarga dari pelaku penganiayaan remaja, Mario Dandy. Seiring terus bergulirnya kasus pidana Mario, ayah dan ibunya yakni Rafael Alun Trisambodo dan Ernie Meike Torondek, jadi perhatian karena harta kekayaan.

Baca Juga

Dari penyitaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diketahui bahwa Ernie memiliki sejumlah tas dan barang mewah. Meskipun, Rafael yang merupakan eks pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu menyebut sebagian besar barang mewah istrinya hanya tiruan alias KW.

Kebanyakan warganet tidak percaya, lantaran beredar foto Ernie berpose di depan gerai mode ternama di luar negeri sembari membawa barang belanjaan. Beredar pula foto sejumlah tas milik Ernie yang disebut asli oleh warganet. Sebenarnya, apa yang membuat sebagian orang senang berbelanja barang?

Dikutip dari laman Vox, Senin (3/4/2023), Sosiolog Juliet Schor dari Boston College di Amerika Serikat mengatakan kelompok referensi dapat memengaruhi kebiasaan berbelanja seseorang. Schor menjelaskan, kelompok referensi bisa saja merupakan orang-orang yang kerap menjadi bahan rujukan atau komparasi diri, juga orang-orang terdekat yang dikenali, termasuk tetangga, rekan kerja, kawan akrab, atau sosok pesohor yang diikuti di media sosial.

Lazimnya, kelompok referensi berubah akibat dinamika sosial ekonomi, tetapi sebagian besar berkaitan dengan siapa seseorang berhubungan. Itu mungkin apa yang selalu terlihat di depan mata, atau apa yang dilihat di televisi, di film, serta di media sosial.

Hierarki dan ketidaksetaraan dalam masyarakat juga memberikan pengaruh. Misalnya, seseorang memiliki kelompok referensi yang lebih kaya daripada dirinya. Peningkatan ketidaksetaraan itu memicu apa yang disebut Schor sebagai konsumsi kompetitif.

"Konsumsi kompetitif adalah gagasan bahwa kita membelanjakan uang karena kita membandingkan diri sendiri dengan rekan-rekan kita dan apa yang mereka belanjakan. Mungkin sulit untuk mengikutinya, terutama jika standar meningkat dengan cepat," ucap Schor.

Disadari atau tidak, struktur masyarakat membuat penghargaan atau nilai sosial terhubung dengan apa yang dapat dikonsumsi seseorang. Ketidakmampuan untuk mengonsumsi atau berbelanja barang tertentu memengaruhi jenis nilai sosial yang dimiliki.

Uang yang ditampilkan dalam bentuk barang konsumsi pun menjadi ukuran nilai, dan itu sangat penting bagi manusia. "Bagi banyak orang, membeli sesuatu adalah tentang mengonsumsi posisi sosial, atau berusaha mengikuti posisi sosial," kata penulis buku The Overspent American itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement