REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ada dua jenis penyakit jantung yang bisa diderita anak-anak. Penyakit jantung bawaan (PJB) atau congenital heart disease dialami oleh bayi baru lahir. Sementara penyakit jantung didapat (acquired heart disease), dialami anak yang lahir sehat namun ditemukan kelainan jantung ketika masa anak-anak dan remaja.
Anak dengan penyakit jantung memang kerap menunjukan gejala tertentu. Akan tetapi ada kasus yang boleh jadi terabaikan karena gejalanya tidak disadari sehingga terlambat diperiksakan.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr Piprim Basarah Yanuarso SpA(K) mengatakan telah beberapa kali menemukan, anak yang tampak sehat tapi mengalami penyakit jantung. Misalnya, anak berusia 10 bulan, dengan pertumbuhan baik, berat badan bagus, tapi mengalami bising jantung keras.
“Kenapa baru ketahuan selama ini kemana saja? Ternyata kalau imunisasi di puskesmas, kalau ke dokter dengan stetoskop bisa ketahuan saat berobat batuk pilek, bisa segera dirujuk untuk ekokardiografi. Anak pecicilan, tumbuh bagus, ternyata ada bocor ketahuan oleh stetoskop,” kata dr Piprim dalam webinar.
Dokter Piprim mengatakan saat menjalani imunisasi, dokter perlu mendengarkan bising jantung dengan seksama, jangan sampai luput sebelum dilakukan ekokardiografi.
Hal yang paling penting adalah deteksi dini karena ada golden periode alias masa ideal di mana tindakan efektif masih bisa dilakukan pada anak. Jika terlambat atau melewatkan periode ini, sering kali sudah tidak bisa ditangani atau dioperasi lagi karena komplikasi, sehingga akhirnya anak itu cacat permanen.
Dokter Piprim juga mengingatkan saat mendeteksi, pastikan terlebih dulu jenis penyakit atau diagnosis-nya oleh ahli jantung yang kompeten. Baru kemudian menentukan manajamen pengobatannya seperti apa.
PJB merupakan penyumbang terbesar kedua (17 persen) setelah prematuritas sebagai penyebab kematian pada masa neonatus, menurut data di Indonesia pada 2017. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), satu dari 100 bayi baru lahir menderita PJB dengan 25 persennya merupakan PJB kritis atau 2-4 per 1.000 kelahiran hidup.