REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi korban kekerasan seksual bisa membuat anak trauma dan berdampak pada kondisi psikologisnya. Apabila tidak mendapatkan bantuan, pertolongan, atau pendampingan psikologis, bukan tidak mungkin akan berujung pada gangguan kesehatan jiwa.
Psikiater dr Lahargo Kembaren SpKJ menyebutkan beberapa kondisi yang bisa dipicu trauma akibat menjadi korban kekerasan seksual. Sejumlah kondisi itu termasuk gangguan kecemasan, depresi, bipolar, psikotik, dan gangguan kepribadian.
Gejala masalah psikologis yang muncul pada korban kekerasan seksual bisa berupa gejala fisik, seperti sakit kepala, jantung berdebar, napas sesak dan pendek, perut nyeri, dan otot tegang. Begitu pula gejala emosi seperti cemas, marah, sedih, frustrasi, merasa sendiri, sepi, dan perasaan dikucilkan.
Korban juga dapat menunjukkan gejala perilaku seperti pola makan dan tidur terganggu, malas bergerak, agresif, atau sering menunda pekerjaan. Sedangkan, gejala kognitif antara lain sulit fokus, kurang konsentrasi, mudah lupa, sulit membuat keputusan, dan pikiran berulang.
"Korban kekerasan seksual akan mengalami dua fase masalah psikologis yaitu fase akut dan fase jangka panjang," ujar Lahargo yang menjabat sebagai Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Jiwa dr H Marzoeki Mahdi Bogor, kepada Republika.
Dia menjelaskan, fase akut terjadi segera setelah kejadian kekerasan seksual sampai 2-3 pekan kemudian. Korban yang bersangkutan dapat mengalami kekacauan perilaku dan pikiran. Gejala emosional yang kuat dialami oleh korban, yaitu menangis, atau tersenyum dan tertawa tanpa sebab jelas.
Korban bisa juga terlihat tenang dan terkontrol, seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, dalam dirinya ada kemarahan, ketakutan, kekhawatiran, dan shock. Reaksi akut muncul karena ketakutan akan cedera fisik, keamanan, dan kematian.
Setelah yang bersangkutan sudah merasa aman, maka akan muncul berbagai gejala lain. Dia bisa mengalami mood swing (kadang senang, kadang sedih), merasa terhina dan punya harga diri rendah, malu, merasa tidak berdaya, merasa tidak punya harapan, ingin balas dendam, bahkan menyalahkan diri sendiri.
Lahargo menjelaskan, setelah itu bisa terjadi fase jangka panjang. Korban mulai melakukan reorganisasi kehidupannya, namun bisa terjadi dua hal berbeda. Korban bisa kembali beradaptasi dengan keadaan, kembali berfungsi dan produktif. Opsi lain, korban tidak bisa menyesuaikan dengan keadaan.
Jika itu terjadi, gejala pada fase akut dapat menetap, malah muncul berbagai gejala psikologis yang mengganggu fungsi dan aktivitas sehari hari. Kemampuan korban kekerasan seksual melewati fase ini tergantung pada usia (semakin muda bisa saja semakin sulit beradaptasi untuk pulih), support system, kepribadian dasar, dan situasi hidup yang dijalani.
Apabila tidak teratasi dengan baik, korban kekerasan seksual dapat mengalami berbagai gangguan kejiwaan seperti depresi, gangguan stres pascatrauma (PSTD), dan gangguan kecemasan. Begitu juga psikotik (gangguan dalam menilai realitas, ditandai dengan adanya halusinasi dan delusi), serta gangguan seksualitas.
Apabila masalah atau gangguan jiwa yang dialami oleh korban kekerasan seksual tidak mendapatkan penanganan yang baik, dapat juga berujung pada percobaan atau tindakan bunuh diri. Karena itu, dalam penanganan kasus kekerasan seksual, Lahargo menyoroti kesehatan jiwa korban perlu nenjadi prioritas.
"Penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan oleh orang yang mengalami kekerasan seksual agar bisa cepat pulih. Harapan untuk pulih cukup besar apabila segera diberikan penanganan oleh profesional yang memiliki kompetensi seperti psikiater, perawat jiwa, psikolog, konselor, dan pekerja sosial," tutur Lahargo.
Terapi untuk korban kekerasan seksual bisa berupa psikoterapi suportif, reedukatif, dan rekonstruktif. Begitu juga pemberian psikofarmaka seperti obat antidepresan, antiansietas, antipsikotik, dan mood stabilizer. Terapi lain termasuk rehabilitasi psikososial serta dukungan dari keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitar.