Senin 09 Jan 2023 18:45 WIB

Konten Pengemis Online Kian Populer, Sosiolog: Model Baru Eksploitasi Kemiskinan

Pengguna TikTok melakukan aneka cara untuk mendapatkan gift yang dapat diuangkan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Reiny Dwinanda
Akun TikTok TM Mud Bath mendulang gift dengan memperlihatkan ibu yang telah berumur mandi di air keruh.
Foto: Dok TikTok TM Mud Bath
Akun TikTok TM Mud Bath mendulang gift dengan memperlihatkan ibu yang telah berumur mandi di air keruh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena mengemis online dengan cara siaran live di aplikasi TikTok belakangan ini telah memicu kontroversi. Pasalnya, demi mendapatkan rupiah dari fitur gift, para kreator pengemis online bahkan rela melakukan cara tak lazim.

Akun TikTok TM Mud Bath, contohnya, memperlihatkan seorang ibu berusia lanjut mengguyur tubuh dengan air dari kotor. Akun yang dikelola sang anak itu disebut hanya untuk seru-seruan dan hiburan, namun mereka menerima gift TikTok yang kemudian dapat diuangkan.

Baca Juga

Di luar negeri, kasus mengemis lewat TikTok juga sempat mencuat pada Oktober 2022 lalu. Hasil investigasi BBC News menemukan ratusan akun menayangkan anak-anak dari kamp-kamp pengungsi Suriah meminta sumbangan.

Aturan TikTok mengatakan pengguna tidak boleh meminta-minta sumbangan atau hadiah secara langsung. Ini penting untuk mencegah bahaya atau eksploitasi anak di bawah umur di platform.

Beberapa akun peminta-minta tersebut menerima sumbangan hingga 1.000 dolar AS per jam atau sekitar Rp 15 juta. Namun, ketika mereka mencairkan uangnya, TikTok dikabarkan mengutip hingga 70 persen.

"Mendatang, hanya orang dewasa yang dapat mengirim hadiah virtual atau mengakses fitur monetisasi," kata TikTok merespons fenomena itu.

Mengapa konten mengemis secara online kemudian menjadi tren di Indonesia? Sosiolog dari Universitas Airlangga, Tuti Budirahayu, menjelaskan bahwa pengemis online merupakan model pengemasan baru dari eksploitasi kemiskinan. Pada dasarnya, kata dia, konten-konten seperti itu memang bisa menarik rasa iba dari warganet hingga akhirnya mau menyumbang.

"Tapi mungkin ada juga yang berderma karena konten tersebut dianggap sebagai model permainan, seperti permainan game online," kata Tuti saat dihubungi Republika.co.id, Senin (9/1/2023).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement