Selasa 08 Nov 2022 23:41 WIB

Dokter Paru: Vape Juga Timbulkan Risiko Kanker Paru

Vape sama risikonya dengan rokok konvensional terkait kanker paru.

Vape sama risikonya dengan rokok konvensional terkait kanker paru.
Foto: Antara
Vape sama risikonya dengan rokok konvensional terkait kanker paru.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vape atau rokok elektrik disebut punya risiko menimbulkan kanker paru seperti rokok, kata Prof. dr. Elisna Syahruddin, PhD, Sp.P(K) yang merupakan pengurus pusat Yayasan Kanker Indonesia (YKI). "Vape sama risikonya dengan rokok," kata Elisna yang bekerja di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dalam webinar, Selasa (8/11/2022).

Paparan asap vape alias rokok elektrik menciptakan iritasi saluran napas. Iritasi yang terjadi terus menerus juga merupakan faktor risiko munculnya kanker paru, termasuk vape jenis tanpa nikotin.

Baca Juga

"Kalau orang lagi vape, di sekelilingnya seperti 'fogging', sama saja (risikonya)," kata Elisna.

Merokok adalah faktor risiko utama yang terkait dengan kanker paru-paru. Bahan-bahan di dalam rokok mengandung karsinogen, zat yang dapat menimbulkan kanker. Ketika merokok, maka seseorang dengan sengaja mengiritasi saluran napas. Dia mengingatkan masyarakat untuk menghindari faktor risiko utama yang menyebabkan kanker paru-paru.

"Mencegah lebih bagus dari mengobati," dia menegaskan.

Kanker paru merupakan jenis kanker kedua yang paling sering didiagnosis di dunia, menyusul kanker payudara. Kanker paru-paru juga bertanggung jawab terhadap jumlah kematian tertinggi dari jenis kanker lainnya di dunia.

"Prognosis kanker paru buruk bila dibandingkan kanker hati atau kanker lambung, kanker paru adalah penyebab kematian terbesar di kelompok kanker," jelas dia.

Di Indonesia, kanker paru-paru ada di urutan ketiga kanker terbanyak dan urutan pertama kanker penyebab kematian berdasarkan data Globocan 2020. Ia mengingatkan pentingnya deteksi dini karena tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi saat kanker paru-paru dideteksi lebih awal. Sebab, sebagian besar pasien terdiagnosis pada stadium lanjut di mana peluang bertahan hidup paling rendah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement