Jumat 04 Nov 2022 12:22 WIB

Disebut Silent Pandemi, Ini 5 Fakta Resistensi Antimikroba

Obat-obat tidak mempan lagi membunuh bakteri atau virus.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Dwi Murdaningsih
Obat-obatan antibiotika. Ilustrasi. Resistensi antimikroba (AMR) disebut menjadi pandemi senyap (silent pandemic).
Foto: .
Obat-obatan antibiotika. Ilustrasi. Resistensi antimikroba (AMR) disebut menjadi pandemi senyap (silent pandemic).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Toga Aditama menyampaikan lima hal yang perlu diketahui tentang resistensi antimikroba (AMR) yang disebut menjadi pandemi senyap (silent pandemic). AMR menurut dia dapat mengancam dunia karena kasus berkembang dengan pesat.

Tjandra yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI ini menyampaikan keterangannya usai menjadi moderator pada Talkshow yang membahas berbagai aspek AMR, atau antimicrobial resistance.

Baca Juga

Pertama, Tjandra mengatakan, saat ini dunia termasuk Indonesia memang menghadapi AMR, yakni situasi terdapat bakteri, virus, jamur dan parasit yang berubah dalam perjalanan waktu dan tidak dapat lagi diatasi dengan obat antimikroba.

Kedua, karena obat-obat tidak mempan lagi membunuh bakteri/virus dan lainnya, maka kondisi ini dapat membuat penyakit menular tidak terkendali di masa datang.

"Karena tidak ada obatnya lagi," kata Tjandra dikutip dari keterangannya, Kamis (4/11/2022).

Ketiga, lanjut Tjandra, di dunia, jumlah infeksi bakteri yang resisten ternyata berhubungan dengan hampir lima juta kematian setiap tahunnya. Lebih dari 1,2 juta kematian ini berhubungan langsung akibat AMR.

"Karena itulah, maka AMR disebut silent pandemi," kata Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara tersebut.

Selain itu, keempat, AMR, kata Tjandra juga dapat terjadi karena multi faktor. Salah satu utamanya adalah perilaku meminum antibiotik yang tidak diperlukan.

Menurutnya, demam batuk pilek misalnya, sebagian besar disebabkan virus, sehingga tidak perlu mengonsumsi antibiotika. Begitu, juga orang yang minum antibiotika tidak sesuai aturan.

"Yang harus lima hari misalnya tetapi karena dua hari sudah merasa sembuh lalu dihentikan, akibatnya kumannya tidak mati dan hanya "sempoyongan" dan ketika bangun lagi maka ia jadi resisten/kebal terhadap antibiotika itu," ujar Tjandra.

Sedangkan kelima, pengendalian AMR meliputi tiga hal. Pertama, Tjandra menilai perlunya perilaku masyarakat untuk hanya konsumsi antibiotika kalau diresepkan dokter dan tidak swa-medikasi.

Kedua, petugas kesehatan juga harus menegakkan diagnosis dan memberi pengobatan sesuai pedoman klinik yang benar, dan ketiga perlu ada pendekatan One Health (Kesehatan Satu Bersama) karena AMR dapat juga berhubungan dengan konsumsi antibiotika pada hewan dan juga lingkungan yang tercemar limbah antimikroba.

"AMR adalah masalah kita, AMR adalah pandemi senyap, kita semua perlu berupaya maksimal menangani hal ini agar tidak menjadi pandemi beneran berkepanjangan," kata Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit itu.


Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement