REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mengatakan penggunaan obat antibiotik yang tidak rasional sangatlah membahayakan. Sebab, hal itu dapat menimbulkan resistensi obat dari berbagai macam bakteri.
"Resistensi obat yang terjadi pada tubuh manusia akan membuat seseorang yang telah terinfeksi tidak dapat lagi menggunakan obat antibiotik apapun. Situasi ini akan berbahaya bagi kesehatan manusia karena obat-obatan yang tersedia sudah tidak efektif dan sensitif terhadap penyakit," kata Muhadjir dalam siaran pers, Selasa (21/11/2023).
Hal itu disampaikan saat menghadiri agenda Seminar Nasional bertema 'Bersama Cegah Silent Pandemic Resistansi Anti-Mikroba'. “Penggunaan obat antibiotik yang tidak rasional itu sangat membahayakan karena bisa menimbulkan resistensi obat dari berbagai macam bakteri yang akan membuat orang tidak bisa lagi menggunakan obat antibiotik apapun ketika dia sudah terinfeksi, dan itu yang harus dicegah,” ujar Muhadjir.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK YB Satya Sananugraha mengungkapkan, saat ini antimikroba yang resistan telah diidentifikasi sebagai silent pandemic yang merupakan ancaman baru bagi manusia. Dia menjelaskan, pandemi itu terjadi akibat penyakit infeksi semakin sulit untuk disembuhkan karena obat-obatan yang tersedia sudah tidak efektif dan sensitif terhadap penyakit.
Pandemi tersebut, kata Satya, akan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, keparahan penyakit. Hingga terjadi kematian dan timbul kedaruratan kesehatan masyarakat.
"Disebut silent pandemic, karena jumlah kasus dan kematian akibat resistansi anti-mikroba tidak terdeteksi atau terlaporkan,” terang Satya.
Diketahui sebelumnya, potensi terjadinya pandemi akibat resistansi anti-mikroba sangat nyata. Salah satu contoh terjadi resistansi anti-mikroba adalah terjadinya tuberkulosis resisten obat (TB-RO), akibat dari pengobatan pasien yang tidak adekuat maupun penularan dari pasien TB-RO. Menurut Global TB Report tahun 2022, kasus TB-RO diperkirakan mencapai 28.000 kasus dari total 969.000 kasus TB yang ada di Indonesia pada tahun 2021.
Selain itu, berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan tahun 2022 melalui Monev Pelaksanaan Permenko PMK Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistansi Anti-Mikroba 2020-2024, ditemukan peningkatan persentase ESBL sebanyak 6,1 persen pada manusia. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan kekebalan bakteri penyebab penyakit tertentu terhadap pengobatan anti-mikroba. Kondisi tersebut perlu menjadi kewaspadaan semua pihak untuk melakukan upaya pencegahan dan pengandaliannya.
Pada seminar itu juga diadakan deklarasi pernyataan dukungan dari 10 organisasi profesi dan asosiasi kesehatan manusia maupun hewan untuk melaksanakan upaya-upaya pencegahan dan pengendalian resistansi anti-mikroba di Indonesia.
Sejumlah organisasi profesi dan asosiasi itu, antara lain Ikatan Dokter Indonesia Perkumpulan Dokter Hewan Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Asosiasi Obat Hewan Indonesia, Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia, Perkumpulan Rumah Sakit Indonesia, Akselerasi Puskesmas Indonesia, Asosiasi Klinik Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia.
Satya mengatakan, partisipasi aktif dari organisasi dan asosiasi tersebut diharapkan tidak hanya dapat memperkuat kapasitas tenaga kesehatan dalam pengelolaan anti-mikroba. Tetapi juga memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik, menjembatani kolaborasi lintas sektor, serta menyuarakan kebijakan yang mendukung penggunaan antibiotik yang bijaksana dan bertanggungjawab.
"Sinergi antara pihak-pihak ini dapat menciptakan fondasi yang kokoh dalam mengatasi tantangan serius resistansi antimikroba demi kesehatan masyarakat yang berkelanjutan," kata dia.