Selasa 18 Oct 2022 09:12 WIB

Studi: 40 Persen Orang Amerika Bohong Atas Status Covid-19 dan Vaksin

Alasan berbohong soal Covid-19 karena warga AS ingin jalankan kebebasan pribadi.

Rep: Santi Sopia/ Red: Nora Azizah
Pada puncak pandemi Covid-19, lebih dari 40 persen orang Amerika ditemukan tidak jujur ​​tentang kondisi mereka yang sebenarnya.
Foto: EPA-EFE/ANDY RAIN
Pada puncak pandemi Covid-19, lebih dari 40 persen orang Amerika ditemukan tidak jujur ​​tentang kondisi mereka yang sebenarnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada puncak pandemi Covid-19, lebih dari 40 persen orang Amerika ditemukan tidak jujur ​​tentang kondisi mereka yang sebenarnya. Survei nasional menunjukkan peserta memilih berbohong tentang apakah mereka memiliki virus atau mengabaikan tindakan pencegahan keamanan.

Survei Desember terhadap 1.700 orang menemukan 721 responden salah mengartikan status Covid-19 mereka atau gagal mengikuti rekomendasi kesehatan masyarakat. Kebohongan itu seperti mengabaikan aturan karantina.

Baca Juga

Kemudian, mengaku telah mengambil lebih banyak tindakan pencegahan, padahal tidak. Selain itu juga tidak menyebutkan bahwa mereka mungkin atau memang menderita Covid-19 ketika masuk ke layanan kesehatan. 

Mereka juga tidak jujur ​​tentang status vaksinasi. Alasan paling umum dari kurangnya transparansi tersebut adalah karena orang ingin merasa normal atau menjalankan kebebasan pribadi.

“Langkah-langkah keamanan Covid-19 tentu saja bisa memberatkan, tetapi itu berhasil,” kata rekan penulis Andrea Gurmankin Levy, seorang profesor ilmu sosial di Middlesex Community College di Connecticut, seperi dikutip dari laman unitedpressinternational, Selasa (18/10/2022).

Rekan penulis Angela Fagerlin, kepala ilmu kesehatan populasi di University of Utah Health, mengatakan, survei tersebut menimbulkan kekhawatiran. Hal itu tentang bagaimana keengganan untuk secara jujur ​​melaporkan status kesehatan dan kepatuhan terhadap masker, jarak sosial, dan langkah-langkah kesehatan masyarakat dapat memperpanjang pandemi dan menyebarkan penyakit menular.

"Beberapa orang mungkin berpikir jika mereka berbohong tentang status Covid-19 mereka sekali atau dua kali, itu bukan masalah besar," kata Fagerlin dalam rilis berita University of Utah. 

Tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian, hampir setengah dari penduduk melakukannya. Jadi, itu adalah masalah signifikan yang berkontribusi untuk memperpanjang pandemi.

Responden memberikan berbagai alasan atas kebohongan mereka. Mereka tidak menganggap Covid-19 itu nyata atau masalah besar. Kebanyak mereka merasa tidak sakit, tidak boleh melewatkan pekerjaan atau tinggal di rumah, mengikuti saran dari figur publik atau selebritas.

"Ketika orang tidak jujur ​​tentang status Covid-19 mereka atau tindakan pencegahan apa yang mereka ambil, itu dapat meningkatkan penyebaran penyakit di komunitas mereka," kata Levy dalam rilisnya. 

Bagi sebagian orang, terutama sebelum l memiliki vaksin Covid, itu bisa berarti kematian. Mereka yang paling mungkin terlibat dalam misrepresentasi termasuk semua kelompok usia di bawah 60 tahun dan mereka yang tidak mempercayai sains. Sekitar 60 persen responden mengatakan telah meminta saran dokter untuk pencegahan atau pengobatan Covid-19.

Studi ini tidak menemukan hubungan antara misrepresentasi dan keyakinan politik, afiliasi partai atau agama. Fagerlin mengatakan survei ini menanyakan tentang rentang perilaku yang lebih luas dibandingkan dengan penelitian sebelumnya tentang topik ini dan melibatkan lebih banyak peserta.

Tetapi para peneliti mengatakan mereka tidak dapat menentukan apakah responden menjawab dengan jujur ​​dan temuan tersebut mungkin meremehkan seberapa sering orang tidak jujur ​​tentang status kesehatan mereka.

Studi ini dinilai sangat menunjukkan apa yang menjadi perhatian orang tentang tindakan kesehatan masyarakat. Utamanya tindakan dalam menanggapi pandemi dan seberapa besar kemungkinan mereka untuk jujur ​​dalam menghadapi krisis global, menurut rekan penulis Alistair Thorpe, seorang peneliti postdoctoral di University of Utah Health. 

“Mengetahui hal itu akan membantu kita mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk gelombang penyakit dunia berikutnya,” ujar Thorpe.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement