Sabtu 15 Oct 2022 13:45 WIB

Sebut KDRT Masalah Kompleks, Ini Saran Psikolog

Korban KDRT tak bisa langsung meninggalkan pelaku, dibutuhkan berbagai persiapan.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Friska Yolandha
Kasus KDRT (ilustrasi). Psikolog menyebut KDRT adalah masalah kompleks.
Foto: abc news
Kasus KDRT (ilustrasi). Psikolog menyebut KDRT adalah masalah kompleks.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI)sekaligus psikolog klinis Adriana Soekandar Ginanjar menilai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masalah kompleks. Korban KDRT tak bisa langsung meninggalkan pelaku, dibutuhkan berbagai persiapan.

"Mungkin bagi orang awam yang melihat ketika ada pasangan kemudian suaminya semena-mena melakukan kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan ekonomi yaitu diporotin memang logikanya ditinggal saja daripada hidup dengan orang seperti itu. Tetapi tak sederhana begitu melepaskan pelaku kemudian (masalah) selesai, tidak begitu juga pada kenyataannya," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (15/10/2022).

Baca Juga

Masalah ini kompleks karena harus ada persiapan korban. Misalnya menguatkan diri atau menyiapkan pekerjaan atau ekonomi. Sebab, dia melanjutkan, secara psikologis ini menyangkut faktor pelaku KDRT kebanyakan punya kekuatan lebih tinggi. Artinya ketika ada KDRT juga ada ancaman misalnya kalau meninggalkan akan tak jadi apa-apa. Atau bisa juga pelaku merendahkan kemampuan pasangannya misalnya bisa apa tanpa dirinya. 

Kemudian, muncul kata-kata kekerasan verbal katanya kasar dan merendahkan seperti bodoh, atau tak bisa apa-apa. Ini akhirnya pihak korban menjadi semakin tidak percaya diri dan merasa bahwa apa yang dikatakan pelaku kemungkinan besar betul. 

"Sehingga, dengan kecemasan seperti itu, dia (korban) tidak tahu caranya hidup tanpa pasangan (pelaku)," ujarnya.

Tak hanya itu, Adriana mengakui seringkali korban juga punya keyakinan bahwa kalau diberikan kasih sayang, kesabaran maka kondisi pelaku akan membaik. Apalagi kalau ada pesan dari lingkungan keluarga korban, misalnya ibunya jadi korban KDRT dan meminta korban bersabar saja karena pelaku tetap kembali ke rumah dan istri. Adriana mengakui, nasehat semacam ini mencerminkan peran gender kuat dimana perempuan harus mengalah dan mengasihi. 

"Ini yang membuat korban mementingkan pasangan dibandingkan yang dia alami," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement