REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikiater dari Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta menekankan pentingnya deteksi dini gejala awal depresi dalam upaya mencegah tindakan bunuh diri. Dalam acara bincang-bincang via virtual di Jakarta, Rabu (5/10/2022), dr. Safyuni Naswati Sahupala, Sp.KJ, dari Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan menyampaikan bahwa jika tidak cepat ditangani dengan baik, depresi bisa semakin berat dan menimbulkan dampak serius.
"Kalau misalnya dia sudah menderita depresi tapi tidak tepat tertangani atau tidak cepat terdeteksi, malah dia membiarkan, ini akan terus berlanjut, akhirnya menjadi suatu gangguan depresi yang berat. Akhirnya timbul ide-ide bunuh diri," katanya.
Dokter yang biasa disapaYuniitu mengatakan bahwa ide bunuh diri merupakan salah satu gejala gangguan depresi dalam kategori berat. Ide bunuh diri, menurut dia, pada dasarnya merupakan konsekuensi keputusasaan dan upaya penderita untuk menyampaikan pesan agar bisa mendapatkan pertolongan berkenaan dengan kondisinya.
Yuni menjelaskan bahwa gejala umum pada orang yang memiliki kecenderungan bunuh diri meliputi tanda fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku. Tanda fisik yang perludiperhatikan oleh orang-orang di lingkungan terdekat di antaranya penderita cenderung tidak memperhatikan penampilan, mengabaikan perawatan diri, kerap mengalami gangguan tidur, pola makannya berantakan, serta mengalami gangguan seperti pusing, sakit kepala, dan sakit dada.
Tanda pikiran dapat diidentifikasi dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh penderita, yang biasanya bertautan dengan ide-ide pesimis seperti merasa tidak dibutuhkan, berharap mati, berharap tidak dilahirkan, atau ingin tidur saja dan tidak bangun lagi. Yuni juga menyampaikan pentingnya memperhatikan tanda-tanda perasaan seperti perasaan putus asa, marah, kesepian, sedih, dan kelelahan.
Selain itu, ia melanjutkan, ada tanda-tanda perilaku yang harus diwaspadai seperti kecenderungan menarik diri dari lingkungan dan orang-orang terdekat, tidak tertarik dengan hal-hal yang semula disenangi, tidak tertarik lagi pada hobinya, dan penggunaan alkohol sebagai pelarian.
"Lingkungan yang lebih dekat harus lebih aware(menyadari) dan lebih perhatian, ketika misalnya anak, saudara, ibu, bapak, atau kakak kita sudah mengalami suatu perubahan dari perilakunya," kata dia.
"Karena kita orang terdekat di rumah yang hampir 24 jam bertemu, kita harus lebih aware dahulu, terutama kalau misalnya sudah ada tanda-tanda depresi tadi," ujarnya menambahkan.
Yuni juga menyoroti stigma pada orang yang mengalamigangguan jiwa dan anggapan bahwa mendatangi psikiater merupakan sesuatu yang memalukan.
"Masalah jiwa ini sangat luas sekali, dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Dari usia balita sampai lansia, dari golongan ekonomi yang rendah sampai tinggi, begitu juga tingkat pendidikan. Masalah jiwa ini masalah yang sangat luas dan ini yang perlu disadari. Dan stigma negatif perlu kita hapus," katanya.