Menurut Wita, jika dilihat dari ketiga aspek tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengukuran bersifat subjektif. Artinya, sangat mungkin jika standar bahagia atau tidak bahagianya dapat diinterpretasikan berbeda oleh orang lain.

Cara manusia menginterpretasikan suatu peristiwa pun, menurut Wita, sangat memengaruhi bagaimana perasaan dan emosi di dalam diri. Misalnya saat menghadapi kemacetan, ada orang yang sudah mengantisipasi dan menerima situasi tersebut, namun ada pula orang yang stres dan marah-marah.

"Jika kita sadar bahwa kita tidak bisa mengontrol kemacetan, yang bisa kita kontrol adalah perilaku diri sendiri seperti berangkat lebih awal, sehingga kita tidak akan terlalu terbawa emosi dibanding ketika kita merasa seharusnya jalanan bisa sesuai dengan harapan ideal kita," ujar Wita.

Wita menyebut niscaya ada waktunya kita mengalami peristiwa menyebalkan atau menyakitkan. Untuk itu, kita perlu memiliki pola pikir bahwa seberapa sulit pun kondisi yang dihadapi maka akan selalu ada jalan keluar dan pada akhirnya masalah akan selesai juga.

"Justru hal-hal pahit dalam hidup yang akan membuat kebahagiaan kita lebih bermakna," ujarnya.

Ikuti Whatsapp Channel Republika