REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wajar bila remake Miracle in Cell No. 7 mendapat apresiasi tinggi dari sutradara dan produser aslinya asal Korea Selatan. Bagaimana tidak, saat Gala Premiere film tersebut, penonton satu studio dibuat campur-aduk emosinya karena tertawa bersama lalu menangis berbarengan.
Humor yang dihadirkan dalam film ini benar-benar berhasil membuat hati menjadi the real roller-coaster, dialog nyeleneh yang sederhana saja sudah mampu membuat penonton terbahak. Belum lagi dengan perawakan para komedian yang rentan diberi julukan lucu.
Seperti Indro Warkop yang berperan sebagai Bang Japra, di mana ciri khas kepala plontos dengan kumis tebal dan badan sedikit gemuk, lirikan bete-nya saja sudah bisa menggelitik. Lalu perawakan Rigen yang besar berperan sebagai Bewok dengan persona mudah marahnya, juga berhasil membuat lucu.
Indra Jegel berperan sebagai Atmo dan Tora Sudiro berperan sebagai Jaki, semua memberikan porsi dialog komedi yang natural. Adegan-adegan yang tampak spontan seperti saling keplak, juga telah diatur sedemikian rupa dan harus seizin senior yakni Indro.
“Ada senioritas di sini (diiringi tawa), jadi semua melalui izin saya. Semua harus tahu adegan yang kami lakukan, sampai mendatangkan paramedik supaya kalau ada yang cedera itu (sembari tertawa),” ucap Indro dalam Gala Premiere Miracle in Cell No. 7 di XXI Epicentrum Jakarta, Kamis (1/9/2022).
Satu lagi yang ikut berperan komedi adalah Bryan Domani sebagai Bule, meski tak banyak dialog kocaknya tetapi beberapa celetukan yang keluar dari mulutnya juga mengocok perut. Ia mengaku senang bisa berada dalam lingkup komedian senior, yang sangat membantunya saat berakting.
“Emang semua line punya background komedi, aku bersyukur banget bisa bersama semua cast ini. Nggak ada senior-senioran, semua mengajak aku. Dan tanpa mereka, karakter aku nggak mungkin bisa ‘jadi’,” kata Bryan dalam kesempatan yang sama.
Jika dibandingkan dengan para penghuni jeruji di film aslinya, karakter dalam versi Indonesia ini memang memiliki karakternya masing-masing. Versi aslinya juga memberikan sentuhan komedi, namun tidak seperti yang dilakukan para komedian Indonesia tersebut.
Selain para komedian, tentunya sang pemeran utama Vino G Bastian yang menjadi Dodo Rozak, juga melakukan pendalaman karakternya dengan mendatangi tiga psikolog untuk mengetahui lebih lanjut tentang disabilitas intelektual. Karena saat memerankannya, Vino tidak boleh salah melakukan interpretasi dari adegannya.
Dengan diarahkan Hanung Bramantyo sebagai sutradara film ini, ia diberi tahu agar semua adegan harus terlihat bahwa Kartika kecil (Graciella Abigail) yang harus memimpinnya. Karena seorang disabilitas intelektual seperti Dodo ini pikirannya berhenti di usia lima tahun, sementara Kartika sudah berusia tujuh tahun.
“Walaupun pernah berakting bapak-anak, tapi ini berbeda. Karena yg nge-lead harus Graciella. Ini nggak bisa seperti bapak yang maaf normal, harus ada gap antara saya dan Graciella. Jadi bagaimana pola pikir saya ini tidak solutif dan seperti anak TK saja,” papar Vino juga dalam kesempatan yang sama.
Sebelumnya, Hanung juga menjelaskan bahwa tim produksi membuat sendiri penjara versi mereka, karena kondisi penjara asli jauh lebih baik daripada cerita di film itu. Hanung ternyata juga sengaja membuat seragam hakim salah, jadi bukan karena kurang riset.
Dia juga menghilangkan foto presiden dan wakil presiden, serta lambang garuda dalam ruang sidang. “Ini bukan tanpa dasar. Saya tadinya mau mengadaptasi hukum Indonesia, tapi ada saran pihak lawyer (kuasa hukum) Falcon (untuk mengubahnya). Pokoknya sejak urusan film masuk pengadilan, semua yang melibatkan hukum, saya bikin salah,” ujar dia.