REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa hari terakhir, fans K-pop kembali menjadi sorotan warganet. Ini berawal dari perseteruan antara Safa dan Flower yang sempat viral di media sosial.
Perseteruan tersebut disebabkan Safa yang menghina idol Flower. Flower tidak terima dengan perlakuan tersebut sehingga dia bersama teman-temannya membuat Space untuk membuat Safa jera.
Perseteruan mereka membawa sejumlah warganet bertanya-tanya, apakah memang fans K-pop bisa bertindak se-“ekstrem” ini demi melindungi dan membela idolnya?
Psikolog Klinis Ohana Space, Marissa Meditania, mengatakan, sebagian besar fans K-Pop berada dalam rentang usia remaja ke dewasa. Remaja merupakan masa pencarian dan pembentukan identitas diri sehingga mereka akan mencari role model. Banyak dari mereka yang menemukan idol K-pop sebagai role model.
“Banyak idol ini yang relate dengan fans. Misal, cerita idol yang di-bully lalu berusaha keras dan sukses. Itu cerita nyata yang mirip dengan cerita mereka. ‘Saya lagi di-bully sekarang atau lagi down, saya juga bisa seperti mereka,’” kata Marissa kepada Republika.co.id, Jumat (20/5/2022).
Kondisi tersebut dapat membangun hubungan yang bernama parasosial. Parasosial adalah hubungan satu arah dalam hal ini hanya dirasakan oleh fans. Ini tercipta karena banyaknya informasi tentang idol ke publik sehingga fans mengetahui kehidupan idol lebih dalam selain karyanya.
Selain itu, parasosial juga dipicu dari K-pop waves di mana bisnis K-pop dibuat berbeda dengan bisnis industri musik lain. “Ibaratnya, para idol memang diorbitkan dan dibeli seluruh hidupnya. Mereka dibentuk bagaimana caranya informasi yang disampaikan dari idol ke fans adalah segalanya dan relatable,” ujarnya.
Hal tersebut yang membuat fans rela mendukung idol mereka dengan cara apapun, seperti membeli merchandise dengan harga jutaan rupiah. Tak hanya mendukung idola, parasosial juga membuat fans bertindak berlebihan, seperti yang dilakukan oleh Flower membela idol mereka.
Menurut Marissa, dalam kasus Flower, juga ada kaitannya dengan pencarian identitas. “Pencarian identitas sebenarnya tidak berhenti dalam satu fase tertentu. Artinya, ini bisa berlangsung hingga tua nanti. Dalam rentang usia dewasa juga tidak menutup kemungkinan masih mencari identitas lain,” ucapnya.
Marissa menyebut, jika orang dewasa sudah sampai bertindak berlebihan, bisa jadi ada ketidakpuasan dalam kehidupan nyata. Misal, dia tidak mendapat dukungan yang dibutuhkan sehingga mengalihkannya dengan mendukung idolnya.
“Ini bukan berarti faktor kenapa Flower bisa seperti itu ya karena kita tidak tahu kehidupan aslinya seperti apa. Namun, kalau dilihat alasan kenapa orang dewasa bisa bersikap berlebihan ini, bisa jadi ada ketidakpuasaan dalam kehiduapan nyata dan isu ketidakpercayaan. Dia merasa percaya diri kalau berdekatan dengan idol,” tuturnya.
Lebih lanjut Marissa mengatakan, jika fans sudah bersikap berlebihan sampai menganggu kehidupan nyata atau mengalami delusi, tidak bisa membedakan kehidupan nyata dan tidak, ada baiknya segera mencari bantuan tenaga profesional. Namun, tidak semua dari mereka sadar untuk mencari bantuan. Oleh karena itu, penting adanya support system dalam lingkungan keluarga dan teman.
Ini juga diperkuat dengan dorongan internal seperti memaksa diri agar bisa sadar, mana kehidupan nyata dan tidak. “Tidak ada larangan untuk menjadi fans tetapi buat tujuannya itu sebagai hiburan dan motivasi diri. Perlu tahu batasannya. Jangan sampai tanggung jawab dalam kehidupan asli dilalaikan. Misal, karena nonton video idol menjadi kurang tidur. Itu perlu diwaspadai dan dari internal harus berjuang keras,” tambahnya.