REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian baru yang inovatif mungkin telah memecahkan misteri sindrom kematian bayi secara mendadak atau sudden infant death syndrome (SIDS). Dikutip dari Independent pada Ahad (15/5/2022), SIDS yang juga dikenal sebagai cot death merupakan kematian mendadak, tak terduga, dan tidak dapat dijelaskan dari bayi yang tampaknya sehat, biasanya terjadi pada enam bulan pertama kehidupan mereka.
Kondisi ini umumnya terjadi ketika anak sedang tidur. Banyak komunitas medis meyakini bahwa fenomena tersebut terjadi karena cacat di otak yang mengontrol peningkatan aktivitas tidur dan pernapasan.
Menurut Mayo Clinic, konsensus di antara para profesional medis adalah bahwa jika seorang anak berhenti bernapas saat tidur, cacat tersebut akan mencegah bayi terkejut atau bangun. Para peneliti sekarang percaya bahwa mereka telah mengonfirmasi teori ini dengan menganalisis sampel darah dari bayi baru lahir yang meninggal karena SIDS dan penyebab lain yang tidak diketahui dan membandingkannya dengan darah yang diambil dari bayi yang sehat.
Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan oleh jurnal eBioMedicine Lancet, mereka menemukan bahwa aktivitas enzim yang disebut Butyrylcholinesterase (BChE) secara signifikan lebih rendah pada bayi yang meninggal karena SIDS. Itu jika dibandingkan dengan bayi yang masih hidup dan mereka yang meninggal karena penyebab non-SIDS.
BChE memiliki peran utama dalam jalur otak, menjelaskan mengapa SIDS biasanya terjadi selama tidur. Oleh karena itu, tingkat enzim yang rendah dipahami mengurangi kemampuan anak untuk bangun, menciptakan kerentanan terhadap SIDS.
Secara historis, orang tua disarankan untuk membaringkan bayi mereka untuk tidur, menjauhkan mainan dan selimut dari boks bayi, dan tidak membiarkan mereka kepanasan dalam upaya mencegah SIDS. Terlepas dari tindakan pencegahan seperti itu, banyak anak masih wafat, meninggalkan orang tua dengan rasa bersalah yang besar dan bertanya-tanya apakah mereka dapat mencegah kematian anak mereka.
Dr Carmel Harrington, yang memimpin penelitian, kehilangan anaknya sendiri karena SIDS 29 tahun yang lalu. "Keluarga-keluarga ini sekarang dapat hidup dengan pengetahuan bahwa ini bukan kesalahan mereka," ujar dr Carmel.