REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin COVID baru yang disebut CoVac-1 menghasilkan respons kekebalan yang kuat pada pasien dengan gangguan kekebalan akibat kanker seperti leukemia dan limfoma. Sebuah tim peneliti dari University Hospital Tübingen Jerman mengembangkan vaksin tersebut.
Hasil dari uji coba dipresentasikan pada American Association for Cancer Research Annual Meeting 2022 minggu lalu. CoVac-1 menginduksi respons imun sel T pada 93 persen pasien dengan defisiensi sel B.
“Sepengetahuan kami, CoVac-1 saat ini adalah satu-satunya kandidat vaksin berbasis peptida yang secara khusus dikembangkan dan dievaluasi untuk pasien dengan gangguan kekebalan,” kata penulis utama studi, Juliane Walz yang merupakan profesor di University Hospital Tübingen.
Walz dan tim telah menguji keamanan dan kemanjuran vaksin baru pada individu tanpa defisiensi imun dan menemukan mereka yang menerima vaksin mempertahankan respons sel T selama tiga bulan setelah vaksinasi. Berdasarkan hasil ini, para peneliti memutuskan untuk menguji kemanjuran vaksin pada pasien gangguan kekebalan dengan melakukan uji klinis fase 1/2.
Pada fase 1 percobaan, para peneliti menganalisis 14 pasien dengan defisiensi sel B, termasuk 12 pasien dengan leukemia atau limfoma. Mereka diberi dosis tunggal CoVac-1 dan diamati hingga enam bulan. Para peneliti mencatat, sekitar 64 persen pasien dalam penelitian ini sebelumnya divaksin dengan vaksin COVID yang disetujui, tetapi mereka gagal menghasilkan antibodi.
Lalu peneliti menemukan bahwa 14 hari setelah vaksinasi CoVac-1, 71 persen pasien mengembangkan respons imun sel T, yang meningkat jadi 93 persen di hari ke-28 setelah divaksin. Vaksin baru menghasilkan respons sel T yang lebih baik daripada yang diamati pada pasien defisiensi sel B yang menerima vaksin mRNA.
Ahli penyakit menular di Johns Hopkins Medicine, William Werbel MD, menjelaskan bahwa CoVac-1 adalah vaksin berbasis peptida yang berarti menggunakan potongan sintetis protein COVID-19 yang sampelnya diambil dari berbagai bagian virus. Dengan kata lain, vaksin berbasis peptida ini dibuat secara artifisial untuk meniru urutan alami.
Lalu apa beda vaksin berbasis peptida dan mRNA? J Wes Ulm, ahli bioinformatika di Harvard Medical School Hospital System, menjelaskan bahwa suntikan Pfizer dan Moderna menggunakan gelembung lemak yang disebut nanopartikel lipid (LNPs), untuk mengirimkan messenger RNA (mRNA) langsung ke sel tubuh. MRNA berfungsi sebagai cetakan langsung untuk menghasilkan sampel protein lonjakan virus yang merangsang sistem kekebalan manusia melawan virus.
Vaksin COVID-19 saat ini menargetkan protein lonjakan virus, yang digunakan virus untuk masuk dan menginfeksi sel manusia. Namun, sistem kekebalan mengenali protein lonjakan yang tidak ada di sana dan memicu produksi antibodi untuk melawan infeksi.
Sementara itu vaksin CoVac-1 hanya menyediakan potongan protein virus (disebut antigen) dalam paket suntik yang kemudian dikirim ke dalam tubuh. Antigen ini adalah sekuens peptida unik yang spesifik untuk beberapa protein COVID-19.
“Imunostimulasi yang dihasilkan kemudian menimbulkan respons imun yang luas dan kuat yang tetap spesifik untuk SARS-CoV-2, dan lebih kuat dalam banyak hal terhadap mutasi virus dibandingkan dengan vaksin yang lebih umum diberikan,” kata Ulm seperti dilansir dari Very Well Health, Rabu (3/5/2022).
Dia menambahkan, vaksin yang saat ini disetujui seperti Pfizer atau Moderna belum tentu efektif pada banyak orang dengan gangguan sistem imun, termasuk pasien kanker. Vaksin saat ini mengandung sepotong virus yang menipu tubuh agar mengira telah terinfeksi, dimana proses ini kemudian menyebabkan sistem kekebalan alami tubuh termasuk respon sel B menjadi aktif.
Tetapi untuk beberapa pasien gangguan kekebalan yang menjalani kemoterapi dan imunoterapi lainnya, sel B mereka dihancurkan, alasan kuat mengapa vaksin saat ini tidak seefektif bagi orang dengan gangguan kekebalan. Lebih lanjut, Werbel mengatakan kemoterapi mengikis sumsum tulang dan jaringan limfoid yang menghilangkan sel-sel seperti sel-B. Terapi dan obat bertarget lainnya menghancurkan atau merusak sel-B.
“Penerima terapi dan obat-obatan ini seringkali tidak dapat menghasilkan respons antibodi yang mengesankan terhadap vaksin selama beberapa bulan,” kata Werbel.
Meskipun ada pilihan pencegahan lain yang tersedia bagi individu gangguan kekebalan seperti Evusheld AstraZeneca, Werbel mengatakan produk ini tidak membangkitkan respons seluler seperti memori sel B atau respons imun sel T terhadap COVID-19. Obat Evusheld dinilai lebih rentan terhadap penghindaran kekebalan oleh varian virus karena perubahan protein virus menghindari produk yang saat ini ditargetkan. Inilah sebabnya mengapa obat-obatan seperti Evusheld adalah pelengkap vaksin, bukan pengganti.
Para peneliti saat ini sedang mempersiapkan uji klinis fase 3 di mana mereka akan mengevaluasi efektivitas CoVac-1 pada populasi yang lebih besar dari individu dengan gangguan kekebalan.