Kamis 28 Apr 2022 16:48 WIB

Studi: Berinteraksi dengan yang Tidak Divaksin Meningkatkan Risiko Covid-19

Risiko terkena Covid-19 saat interaksi bisa terjadi pada mereka yang sudah vaksinasi.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Risiko terkena Covid-19 saat interaksi bisa terjadi pada mereka yang sudah vaksinasi.
Foto: www.freepik.com.
Risiko terkena Covid-19 saat interaksi bisa terjadi pada mereka yang sudah vaksinasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi baru mengungkap bahwa orang yang tidak divaksin meningkatkan risiko infeksi bagi orang-orang di sekitarnya, meskipun yang lain sudah divaksin. Hal ini merujuk studi yang diterbitkan di Canadian Medical Association Journal.

Lebih lanjut studi menyatakan, orang yang divaksinasi memiliki peluang besar terkena infeksi ulang jika bergaul dengan orang yang tidak divaksin. Sebaliknya, orang yang tidak divaksin risikonya tertular Covid-19 menurun ketika bergaul dengan orang yang divaksin, karena mereka berfungsi sebagai penyangga penularan.

Baca Juga

Co-author studi, David Fisman, dari University of Toronto Dalla Lana School of public health, mengatakan pesan dari penelitian ini bahwa pilihan untuk divaksinasi tidak dapat dianggap sebagai pilihan pribadi.

“Anda mungkin suka mengendarai mobil sampai 200 kilometer per jam dan berpikir itu menyenangkan, tetapi aturan tak memperbolehkannya karena Anda bisa melukai bahkan membunuh pengguna jalan lain. Begitu pula soal vaksin,” kata Fisman seperti dilansir dari CP24, Kamis (28/4/2022).

Fisman mengatakan ide menggarap studi datang beberapa bulan lalu di tengah perdebatan seputar paspor vaksin dan mandat vaksin.

“Kesimpulannya bahwa kesehatan masyarakat adalah sesuatu yang sebenarnya harus dilakukan secara kolektif. Jadi jika Anda menganggap tidak divaksin risikonya hanya bagi diri sendiri, Anda salah, karena itu bisa menciptakan risiko bagi orang lain yang berinteraksi dengan Anda,” kata dia.

Para peneliti menggunakan model matematika untuk memperkirakan berapa banyak infeksi yang akan terjadi dalam suatu populasi, jika dilihat dari seberapa banyak pembauran yang terjadi antara orang yang divaksin dan tidak divaksin. Ditemukan bahwa ketika seseorang berbaur dengan mereka yang status vaksinasinya sama, tingkat infeksi menurun dari 15 persen menjadi 10 persen. Sementara itu, tingkat infeksi meningkat dari 62 persen menjadi 79 persen di antara mereka yang tidak divaksinasi.

Fisman mengatakan bahwa dalam kehidupan nyata, orang cenderung menghabiskan waktu dengan orang yang punya pemikiran yang sama termasuk dalam hal vaksinasi. Namun, mereka yang divaksin bisa saja terpengaruh secara tidak proporsional ketika menghabiskan waktu dengan mereka yang tidak divaksin.

Dia mengatakan, munculnya varian Covid-19 yang lebih menular seperti Omicron, telah memengaruhi efektivitas vaksin dan kepercayaan publik terhadap vaksinasi. Tetapi menurut dia, bahkan ketika kemanjuran vaksin diturunkan menjadi 40 persen dalam model dan tingkat reproduksi ditingkatkan untuk menjelaskan varian yang lebih menular, kesimpulan seluruhnya sama.

Kendati begitu, di satu sisi, penelitian ini sebenarnya meremehkan pentingnya vaksin karena tidak memperhitungkan bagaimana mereka sangat mengurangi kemungkinan kematian dan rawat inap. Namun ia mengakui bahwa model matematika sederhana tidak sepenuhnya mencerminkan dunia nyata atau beragam faktor yang harus diperhitungkan saat menetapkan kebijakan kesehatan masyarakat, termasuk pertimbangan politik dan kemarahan publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement