Rabu 16 Mar 2022 12:25 WIB

Cari Tahu Soal Penyakit Lewat Google, Jangan Sampai Kena Cyberchondria

Orang secara kompulsif mencari informasi medis di Google bisa alami cyberchondria.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Stetoskop dokter. Mencari keterangan mengenai gejala penyakit di Google jamak dilakukan. Meski begitu, informasi tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menegakkan diagnosis sendiri.
Foto: Republika/Prayogi
Stetoskop dokter. Mencari keterangan mengenai gejala penyakit di Google jamak dilakukan. Meski begitu, informasi tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menegakkan diagnosis sendiri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Google sering kali menjadi tempat pelarian pertama ketika seseorang merasakan keluhan atau gejala sakit yang mengganggu. Hanya, pencarian informasi medis yang tak terarah di internet dapat berujung pada munculnya hasil-hasil pencarian yang tak relevan dan berpotensi memicu kecemasan.

Mencari berbagai informasi medis di Google pada dasarnya bukan hal yang asing untuk dilakukan. Faktanya, survei yang dilakukan eligibility.com menunjukkan bahwa hampir 90 persen pasien mencari tahu mengenai gejala mereka di Google sebelum memeriksakan diri ke dokter.

Baca Juga

Meski bisa sangat membantu, pencarian informasi medis di Google tak selalu memberikan jawaban yang tepat. Tak jarang, kebiasaan ini justru memicu timbulnya beragam masalah lain.

Salah satu di antara masalah tersebut adalah cyberchondria. Menurut para ahli kesehatan mental, cyberchondria merupakan tindakan mencari informasi medis secara kompulsif dan berulang di internet yang berujung pada munculnya kecemasan dan panik.

Di samping itu, banyak orang kerap memanfaatkan Google untuk menegakkan diagnosis sendiri berdasarkan gejala-gejala yang mereka rasakan. Padahal, hasil pencarian dari Google tidak selalu akurat dan tak bisa dijadikan dasar untuk menegakkan diagnosis sendiri.

Kecenderungan orang awam untuk melakukan pencarian informasi medis yang tak terarah di Google juga kerap menjadi masalah tersendiri bagi dokter dan penyedia layanan kesehatan. Alasannya, kebiasaan tersebut kerap mendorong pasien untuk melakukan saran-saran terkait kesehatan yang tidak tepat.

Sebenarnya, ada banyak informasi medis yang bisa diandalkan akurasinya di internet. Terlebih, informasi-informasi yang berasal dari sumber terpercaya. Di sisi lain, perilaku untuk mencari berbagai informasi di internet tak bisa ditepis begitu saja di era teknologi digital saat ini.

Oleh karena itu, jalan tengah terbaik yang bisa dilakukan oleh masyarakat awam adalah membiasakan diri untuk mencari informasi medis secara bijak di internet. Berikut ini adalah lima langkah yang dapat membuat pencarian informasi medis di internet menjadi lebih terarah, seperti dilansir Huffington Post, Selasa (15/3/2022).

Mulai dari situs terpercaya

Informasi medis yang keliru banyak beredar di dunia maya. Cara terbaik untuk menghindari informasi-informasi keliru tersebut adalah dengan melakukan pencarian dari sumber-sumber yang terpercaya.

Sebagai contoh, mencari informasi medis dari laman organisasi kesehatan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di AS, laman Kementerian Kesehatan RI di Indonesia, hingga laman-laman yang menyajikan informasi kesehatan berbasis bukti ilmiah, seperti Mayo Clinic atau Cleveland Clinic.

"Penting untuk selalu mendapatkan informasi Anda dari sumber terpercaya, khususnya berkaitan dengan masalah medis," ujar Dr Beth Oller.

Menilai studi

Internet memberikan banyak kemudahan untuk mengakses informasi, termasuk informasi mengenai hasil-hasil studi ilmiah. Salah satu di antaranya adalah laman PubMed yang telah menjadi basis data besar untuk berbagai paper ilmiah. Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua studi itu setara.

Untuk menilai seberapa legitnya suatu studi, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan. Sebagian di antaranya adalah mengenai di mana studi tersebut dipublikasikan, seberapa besar sampel yang digunakan, sumber dana penelitian, hingga limitasi yang dipaparkan peneliti dalam studinya.

Peliputan media terhadap suatu studi juga dapat menjadi pertimbangan. Alasannya, editor dan reporter kesehatan cenderung selektif dalam memilih studi apa yang akan mereka muat dalam platform mereka. Tak jarang, peliputan suatu studi juga akan memuat hasil wawancara dengan peneliti lain yang dimintai tanggapan mengenai hasil studi yang dipublikasikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement