REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro mengemukakan metode tes cepat reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction/PCR) merupakan alat diagnosa yang tepat untuk mendeteksi COVID-19. "PCR mengidentifikasi partikel SARS-CoV-2. Jadi memang yang digunakan untuk penegakan diagnosis sebaiknya PCR swab test," kata Reisa Broto Asmoro saat menyampaikan siaran pers yang diikuti dari YouTube RRI Net Official di Jakarta, Senin (14/2/2022).
Reisa mengatakan, PCR memiliki keakuratan dalam pengujian yang lebih tinggi dari alat lainnya, yakni berkisar 70 sampai 98 persen. Reisa yang juga menjabat sebagai Duta Perubahan Perilaku itu mengatakan PCR membutuhkan hasil yang relatif lebih lama jika dibandingkan tes cepat Antigen sebab menggunakan alat di laboratorium.
"Sehingga waktunya dari sampel itu diambil dari nasofaring dan tenggorok itu membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua hari," katanya.
Namun, apabila pada suatu lokasi mengalami keterbatasan dalam mengakses layanan PCR, Reisa menyarankan penggunaan alat diagnosa lain yakni tes cepat Antigen. Reisa mengatakan, Antigen memiliki akurasi yang lebih rendah dari PCR, yakni berkisar 30 sampai 84 persen tergantung kualitas alat dari perusahaan penyedia.
"Antigen digunakan sebagai skrining awal bagi orang yang tidak bergejala, dapat digunakan juga sebagai diagnosis kalau dia sudah bergejala atau diduga sebagai kontak erat yang sudah terpapar oleh COVID-19," katanya.
Reisa mengatakan, Antigen sempat menjadi alat diagnosa COVID-19 pada saat tarif tes cepat PCR relatif mahal. "Karena PCR saat ini makin terjangkau, sesuai dengan yang diarahkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) yang merupakan 'gold standard' untuk penegakan diagnosis COVID-19 yang digunakan adalah swab PCR," katanya.