REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan telah menemukan bahwa autoantibodi menjadi alasan dibalik pertanyaan mengapa sebagian orang bisa terkena infeksi Covid-19 lebih parah. Autoantibodi tidak hanya memengaruhi kerentanan terhadap infeksi, namun juga terhadap kondisi seperti rheumatoid, diabetes, penuaan, bahkan long Covid.
Autoantibodi juga dikenal sebagai antibodi nakal yang menyerang sel dan jaringan sehat pada individu. Proses ini bertanggung jawab atas daftar panjang penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis.
Para ahli imunologi sangat tertarik pada peran yang mungkin dimainkan oleh autoantibodi dalam Covid-19 dan long Covid-19. Bekerja sebagai bagian dari proyek internasional, Dr Jean-Laurent Casanova, seorang ahli genetika manusia dan penyakit menular, dan timnya dari Rockefeller University AS telah menyelidiki faktor-faktor yang meningkatkan risiko terkena Covid-19 yang parah.
Mereka menemukan bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit memiliki tingkat autoantibodi yang jauh lebih tinggi daripada pasien yang tidak terinfeksi virus. Peneliti juga memperkirakan bahwa autoantibodi dapat menyebabkan sekitar seperlima dari semua kematian akibat Covid-19.
“Kami menemukan bahwa autoantibodi memperburuk infeksi dengan menghalangi aktivitas molekul yang membantu melawan infeksi virus. Tingkat autoantibodi yang rendah dapat membantu menjelaskan mengapa beberapa orang tidak terinfeksi atau gejala ringan Covid,” kata Casanova seperti dilansir dari Daily Mail, Rabu (26/1/2022).
Studi terbaru lainnya telah mengidentifikasi berbagai autoantibodi dalam darah pasien dengan gejala Covid-19 parah yang menyebabkan kerusakan dengan cara yang berbeda. Misalnya, dengan menyerang protein yang membantu mengontrol pembekuan darah.
Autoantibodi dapat dideteksi dalam tes darah. Karenanya skrining bisa membantu mengidentifikasi individu yang mungkin memerlukan perawatan pencegahan atau menemukan orang yang terinfeksi dan memerlukan perawatan agresif dini.
Profesor Adrian Liston, pemimpin kelompok senior di Babraham Institute di Inggris, memimpin program kerja yang berupaya memahami perubahan yang terjadi pada sistem kekebalan pasien dengan Covid-19.
Dia mengatakan, meskipun terlalu dini untuk mengatakan apakah autoantibodi berperan dalam penyakit akut atau long Covid, namun keberadaan autoantibodi membutuhkan perhatian.
“Ini tentu jalur yang sangat masuk akal karena kami memiliki bukti bahwa autoantibodi dapat bertahan selama bertahun-tahun atau puluhan tahun, tidak seperti virus, jadi ini memberikan penjelasan yang baik mengapa gejala Covid bertahan lama setelah virus hilang,” kata Liston.
Tetapi penjelasan lain yang mungkin adalah bahwa virus dapat memulai inflammatory circuit, dimana peradangan melahirkan peradangan baru, bahkan setelah virus hilang. Namun, lanjut Liston, hingga kini tidak ada penelitian yang cukup untuk memastikannya.
Tetapi diharapkan penelitian semacam itu akan membuka jalan bagi inovasi dalam diagnostik dan perawatan. Profesor Liston memprediksi akan ada alat diagnostik untuk long Covid berbasis autoantibodi dalam enam bulan ke depan, dan mungkin pengobatan berbasis autoantibodi untuk Covid panjang setelah itu.
“Jika autoantibodi memang bertanggung jawab atas banyak gejala long Covid, maka Anda bisa menggunakan jenis pendekatan yang dikembangkan untuk penyakit autoimun untuk mengobati long-covid. Itulah mengapa ini penting, untuk mencari pengobatan yang menargetkan autoantibodi,” kata Liston.