REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak korban kekerasan seksual harus dirangkul oleh keluarga dan lingkungannya. Menurut Ketua Program Studi Terapan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dr Rose Mini Agoes Salim, hal tersebut untuk memulihkan trauma yang dideritanya akibat peristiwa kekerasan seksual yang dialami anak.
"Kita coba mendudukkan posisi sebagai anak tersebut. Anak yang enggak mengerti apa-apa, lalu mendapat masalah seperti ini (kekerasan seksual)," kata Rose Mini di Jakarta, Jumat (14/1/2022).
Menurut dia, orang tua jangan menyudutkan sang anak atas peristiwa yang dialaminya. Hal itu malah akan semakin menambah trauma anak.
Bagi orang tua yang kesulitan dalam menghadapi anak korban kekerasan seksual maka penanganan anak harus dibantu oleh pakar atau ahli. "Bantu anak, yakinkan bahwa dia tidak diintimidasi, tidak dipojokkan. Kalau orang tua tidak bisa melakukan sendiri, harus dibantu oleh pakar atau ahli," katanya.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar, mengatakan, masih ada stigma buruk kepada korban sehingga keluarga dan lingkungan belum bisa menerima keberadaan korban. "Akibat dari peristiwa ini kemudian anak-anak menjadi terancam mengalami stigma," ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, dalam kasus kekerasan seksual, selain memastikan proses hukum terhadap terdakwa terus berjalan, penting juga untuk memenuhi hak dan memberikan perlindungan terhadap para korban.