REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Dosen perekayasa teknologi agroindustri yang juga Tim Kelompok Riset "Pangan ASUH" Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Jember (Unej), dr Eka Ruriani, memaparkan tentang active packaging (kemasan aktif) sebagai kemasan makanan yang solutif di tengah pandemi Covid-19. Menurutnya, teknologi pengemasan mempunyai peranan penting dalam industri pangan seperti untuk proses pengawetan makanan, pencegahan kontaminasi, penundaan proses pembusukan, dan penghambat susut bobot.
"Terlebih di masa pandemi Covid-19, konsumen menuntut kemasan higienis yang mampu melindungi produk pangan terbebas dari kontaminasi luar terutama virus atau mikroba lain yang bisa menempel pada makanan," katanya dalam rilis yang diterima di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu (29/12).
Secara umum, lanjut dia, bahan pengemas produk pangan yang ideal harus bersifat inert, mampu mencegah terjadinya transfer material, mempunyai properti penghambat yang sempurna dan dapat didaur ulang (eco-friendly). Adapun suatu bahan kemasan dapat dikategorikan sebagai active packaging (kemasan aktif) jika mampu memberikan fungsi pengawetan terhadap bahan pangan yang dikemasnya, tidak hanya sebagai inert barrier dari pengaruh lingkungan eksternal.
Menurutnya pemikiran penggunaan teknologi kemasan aktif bukan hal yang baru, tetapi dari segi manfaat mutu dan nilai ekonomi teknik itu merupakan perkembangan terbaru dalam industri kemasan bahan pangan. "Beberapa keuntungan teknologi pembuatan kemasan aktif adalah memberikan fungsi perlindungan terhadap produk yang dikemasnya secara aktif, harga terjangkau, ramah lingkungan, mempunyai nilai estetika yang dapat diterima dan sesuai untuk sistem distribusi," tuturnya.
Dia menjelaskan, beberapa bahan aktif atau dikenal juga sebagai freshness enhancer yang biasa ditambahkan atau diaplikasikan pada kemasan aktif adalah penyerap bau, penyerap etilen, pengendali mikroba (anti-mikroba) dan penyerap atau pelepas karbodioksida (CO2). Pada prinsipnya, lanjutnya, pengembangan kemasan aktif harus memenuhi beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yakni pertama, bahan kemasan dan substansinya harus diproduksi sesuai dengan standar good manufacturing process (GMP).
Kedua, jenis dan dosis bahan aktif yang digunakan sesuai dengan perundangan pangan nasional dan ketiga, kemasan wajib dilengkapi dengan label yang memberikan peringatan "Do Not Eat" untuk memudahkan konsumen dalam mengenali bagian yang tidak dapat dimakan. "Salah satu contoh pengembangan kemasan aktif yang banyak dikembangkan dan sudah komersil adalah sistem pengemasan yang bersifat antimikroba (anti-microbial packaging)," ujarnya.
Sistem kemasan ini dapat terbentuk dengan cara yakni penambahan anti-microbial sachet ke dalam kemasan, pendispersian komponen bioaktif di dalam kemasan, coating komponen bioaktif pada permukaan bahan pengemas atau pemanfaatan makromolekul antimikroba yang diintegrasikan dalam edible film atau edible coating.
"Beberapa senyawa antimikroba yang cukup potensial untuk digunakan antara lain: etanol, karbondioksida, ion perak, klorin dioksida, antibiotik, asam organik, minyak esensial dan rempah-rempah," ujarnya.
Ruriani mengimbau kepada produsen makanan untuk menggunakan kemasan aktif agar kemasan tersebut hiegienis yang mampu melindungi produk pangan terbebas dari kontaminasi luar terutama virus atau mikroba lain yang bisa menempel pada makanan.