Sabtu 18 Dec 2021 18:05 WIB

Sering Disamakan, Ini Perbedaan Mendasar Lupa dan Pikun

Pikun merupakan kondisi menurunnya kemampuan berpikir secara drastis.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Indira Rezkisari
Lupa dan pikun adalah kondisi medis yang berbeda. Pikun disebut dokter, bukan gejala normal dari proses penuaan.
Foto: Piqsels
Lupa dan pikun adalah kondisi medis yang berbeda. Pikun disebut dokter, bukan gejala normal dari proses penuaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam keseharian, orang yang lupa akan sesuatu kerap diledek dengan sebutan pikun. Padahal, lupa dan pikun sebenarnya dua hal yang berbeda.

"Sebenarnya lupa dan pikun sesuatu yang tidak sama, sesuatu yang berbeda," jelas Dr dr Ninik Mudjihartini MS dari Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI dalam seminar web untuk awam "Kiat Sehat Lansia Pasca Pandemi Covid-19", Sabtu (18/12).

Baca Juga

Lupa, lanjut Dr Ninik, merupakan peristiwa di mana tidak dapat ditimbulkannya kembali informasi-informasi yang telah diterima dan disimpan. Pada lupa, hilang pula kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah dipelajari.

Dr Ninik mencontohkan, dahulu sebagai mahasiswi kedokteran dia belajar mengenai obat, mulai dari nama-nama hingga kegunaannya. Namun seiring berjalannya waktu dan Dr Ninik tak lagi melakukan praktik klinik, informasi tersebut tidak dia gunakan.

"Sehingga hal itu hilang, atau hanya tertinggal dalam jumlah sedikit. Namun kalau saya mau mengembalikan ingatan itu, saya dapat melatih untuk kembali mengingat hal-hal tersebut, informasi yang sudah saya dapat," ungkap Dr Ninik.

Ada dua teori yang dinilai menjadi penyebab terjadinya lupa. Yang pertama adalah teori atopi, di mana lupa terjadi karena informasi terlalu lama disimpan sehingga menjadi rusak atau bahkan hilang dari ingatan.

Teori yang kedua adalah teori interferensi. Mengacu pada teori ini, lupa terjadi karena informasi yang disimpan dan yang akan ditimbulkan kembali terlalu banyak sehingga menimbulkan interferensi.

Berbeda dengan lupa, pikun merupakan kondisi di mana menurunnya kemampuan berpikir secara drastis. Penurunan ini dipicu oleh penurunan fungsi jaringan otak. Pikun juga dikenal dengan istilah demensia. Gejala pikun biasanya akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

"Pikun itu bukan gejala normal dari proses penuaan. Gejala normal (proses penuaan) itu lupa. Pikun itu lebih sebagai suatu kelainan," ungkap Dr Ninik.

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya pikun atau demensia. Sebagian di antaranya adalah kebiasaan merokok, konsumsi gula terlalu banyak, dan makan terlalu banyak. Kurang tidur dan kurang menstimulasi pikiran juga dapat memicu terjadinya pikun.

Demensia itu sendiri merupakan istilah payung untuk menggambarkan sekumpulan penyakit otak dan gejala-gejalanya. Gejala tersebut meliputi kehilangan ingatan, kesulitan untuk membuat keputusan, perubahan kepribadian, dan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Sekitar 60-70 persen kasus demensia adalah penyakit Alzheimer. Beberapa penyakit lain yang juga termasuk ke dalam demensia adalah demensia vaskular, demensia frontotemporal, demensia lewy body, dan bentuk demensia lain seperti penyakit Parkinson atau penyakit Huntington.

Dr Ninik mengatakan ada empat hal yang bisa dilakukan untuk mencegah pikun. Dua di antaranya adalah "memberi makan" otak dengan mengonsumsi makanan yang bergizi serta kaya omega-3 dan olahraga. Dua upaya lainnya adalah olah otak dan mengistirahatkan otak. "Datang ke dokter bila ada tanda demensia atau pikun," tukas Dr Ninik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement