Rabu 03 Nov 2021 21:48 WIB

Bisakah Kita Mengetahui Kekuatan Antibodi Covid-19?

Sebagian orang mengandalkan tes antibodi untuk mengetahui imunitas yang dimilikinya.

Sebagian orang mengandalkan tes antibodi untuk mengetahui imunitas yang dimilikinya.
Foto: Pixabay.
Sebagian orang mengandalkan tes antibodi untuk mengetahui imunitas yang dimilikinya.

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Adysha Citra Ramadani

Baca Juga

Individu yang telah divaksinasi lengkap masih memungkinkan terkena Covid-19. Situasi ini kerap membuat orang yang telah menerima vaksin ingin mengetahui imunitas Covid-19 yang dimilikinya.

Sebagian orang kemudian mempertimbangkan tes antibodi untuk mengetahui imunitas Covid-19 yang mereka miliki pascavaksinasi. Akan tetapi, cara ini ternyata tidak direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA).

Tes antibodi dikenal juga sebagai tes serologi. Tes ini sebenarnya membutuhkan resep atau anjuran dari dokter. Tes antibodi merupakan tes darah yang bertujuan untuk mendeteksi keberadaan antibodi SARS-CoV-2 pada aliran darah.

Antibodi merupakan molekul protein yang diproduksi oleh sistem imun ketika tubuh melawan patogen atau menjalani vaksinasi. Keberadaan antibodi ini dapat membantu memberikan perlindungan bagi tubuh bila terpapar oleh patogen di kemudian hari.

Tak hanya itu, antibodi di dalam tubuh juga dapat membantu menurunkan tingkat keparahan gejala dalam kasus reinfeksi. Biasanya, tes antibodi digunakan untuk melakukan mencari bukti mengenai infeksi di masa lalu, atau untuk mengukur kesiapan tubuh dalam melawan virus tertentu.

Tes antibodi yang tersedia secara komersil saat ini dapat mengukur dua jenis antibodi, yaitu antibodi spike protein dan antibodi nukleokapsid. Dekan School of Global Public Health dari New York University Dr Cheryl G Healton DrPH mengatakan tes antibodi tak dapat digunakan untuk mengetahui apakah vaksin Covid-19 di dalam tubuh masih bekerja atau tidak.

Mengacu pada Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Dr Healton mengatakan, tes antibodi saat ini tak direkomendasikan untuk mengukur imunitas yang terbentuk setelah vaksinasi Covid-19. Alasannya, tes ini tidak begitu akurat dalam mengukur proteksi terhadap Covid-19.

Secara teori, hasil positif dari pemeriksaan antibodi spike protein dapat berarti bahwa vaksin bekerja. Akan tetapi, hasil tes tak dapat menunjukkan seberapa besar antibodi yang dihasilkan. Dengan kata lain, hasil tes ini tak dapat menunjukkan seberapa besar perlindungan yang telah terbentuk dari vaksinasi.

Profesor di bidang penyakit menular dari Vanderbilt University Medical Center di Nashville, Dr William Schaffner MD, menambahkan suatu tes sebaiknya tak dilakukan kecuali seseorang yang melakukan tes tahu apa yang harus dilakukan dengan hasil positif atau negatif yang dia terima.

"Dalam hal tes antibodi, hasilnya tak bisa diinterpretasikan, inilah kenapa kami tak merekomendasikannya," ungkap Dr Schaffner.

Hasil tes antibodi juga tak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang terkena Covid-19 atau tidak. Alasannya, tes antibodi membutuhkan waktu sekitar 1-3 pekan setelah infeksi untuk bisa mendeteksi antibodi virus. Oleh karena itu, tes antibodi tak dapat digunakan untuk mendiagnosis Covid-19.

Terlepas dari itu, tes antibodi dapat bermanfaat untuk kondisi tertentu. Misalnya, untuk urusan penelitian klinis atau ketika penyedia layanan kesehatan ingin mengetahui apakah seorang pasien pernah terinfeksi Covid-19 sebelumnya.

"Tes antibodi positif tidak dapat menjadi pengganti untuk vaksinasi," jelas Dr Healton.

Kepemilikan antibodi Covid-19 mungkin masih samar-samar diketahui. Meski begitu, tetap ada kabar baik.

Berdasarkan studi, individu yang pernah terkena Covid-19 dan mendapatkan vaksin Covid-19 mRNA memiliki antibodi yang lebih tahan lama. Jarak waktu antara sakit Covid-19 dan vaksinasi yang lebih panjang dapat meningkatkan respons antibodi untuk melawan virus Covid-19.

Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi berskala besar dari peneliti Johns Hopkins Medicine. Studi yang melibatkan hampir 2.000 tenaga kesehatan sebagai partisipan ini telah dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement