Kamis 14 Oct 2021 15:48 WIB

Tinggal Terlalu Lama di Luar Angkasa Picu Kerusakan Otak

Studi libatkan kosmonaut Rusia yang tinggal di luar angkasa selama 169 hari.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Nora Azizah
Menghabiskan waktu yang panjang di luar angkasa tampak berpotensi memicu masalah kesehatan di kemudian hari.
Foto: Pixabay
Menghabiskan waktu yang panjang di luar angkasa tampak berpotensi memicu masalah kesehatan di kemudian hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menghabiskan waktu yang panjang di luar angkasa tampak berpotensi memicu masalah kesehatan di kemudian hari. Salah satu di antaranya adalah kerusakan otak.

Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi terbaru yang melibatkan para kosmonaut Rusia sebagai partisipan. Para kosmonot Rusia ini bertugas di International Space Station (ISS) dan memiliki waktu tinggal rata-rata selama 169 hari di luar angkasa.

Baca Juga

Dalam studi yang dipublikasikan pada JAMA Neurology ini, para peneliti mengambil sampel darah kosmonaut-kosmonaut Rusia tersebut sebanyak empat kali. Sampel darah pertama diambil sebelum para kosmonaut meninggalkan bumi untuk berangkat ke ISS. Sampel lainnya diambil pada tiga waktu berbeda setelah para kosmonaut kembali ke bumi.

Ada lima biomarker darah yang diukur oleh para peneliti. Tiap biomarker ini berkaitan dengan kerusakan otak. Peneliti mendapati tiga biomarker yang tampak mengalami peningkatan signifikan setelah kosmonot kembali ke bumi. Ketiga biomarker tersebut adalah neurofilament light (NfL), glial fibrillary acidic protein (GFAP), dan satu jenis protein beta amiloid spesifik.

Menurut peneliti, peningkatan NfL dan GFAP dapat mengindikasikan sebuah masalah neurodegeneratif yang dikenal sebagai axonal disintegration. Saat ini, peningkatan kadar NfL juga sedang diteliti sebagai cara mendeteksi kerusakan otak tahap awal yang berkaitan dengan penyakit Alzheimer.

Di sisi lain, peneliti menilai peningkatan protein beta amiloid setelah kosmonaut kembali ke bumi sebagai indikasi "fase pembersihan". Pada fase ini, otak membersihkan limbah protein yang menumpuk karena tak dibersihkan secara efektif saat kosmonaut berada di luar angkasa.

"Kami berspekulasi bahwa peningkatan protein amiloid ketika kembali ke Bumi merepresentasikan fase pembersihan setelah berbulan-bulan pembersihan limbah protein terhambat, mengingat albumin tampak tetap stabil atau bahkan menurun," ungkap tim peneliti, seperti dilansir New Atlas, Kamis (14/10).

Ahli neurosains Henrik Zetterberg dari University of Gothenburg mengatakan studi terbaru ini hanya berfokus pada keberadaan biomarker yang spesifik. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui aspek apa dari perjalanan luar angkasa yang berpotensi menyebabkan kerusakan otak dan gangguan kognitif apa yang mungkin terjadi sebagai akibatnya. Menurut Zetterberg, pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab sebelum perjalanan luar angkasa menjadi hal yang umum di masa mendatang.

"Apakah karena tubuh menjadi tak berbobot, perubahan cairan otak, atau stressor yang berkaitan dengan peluncuran dan pendaratan, atau disebabkan oleh hal lain?" jelas Zetterberg.

Menurut Zetterberg, biomarker yang dibahas dalam studi terbaru ini dapat digunakan di masa depan untuk memantau neurodegenerasi selama perjalanan luar angkasa. Biomarker tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi efikasi dari berbagai upaya preventif yang membantu menurunkan kerusakan terkait perjalanan antarplanet yang panjang.

Ini bukan studi pertama yang mengindikasikan adanya dampak negatif dari tinggal di luar angkasa terhadap fisiologi otak. Beberapa studi yang melibatkan astronot ISS menunjukkan adanya perubahan volume white matter di otak.

Tak jarang, astronot juga mengeluhkan penglihatan yang kabur setelah kembali ke bumi. Masalah penglihatan kabur ini diyakini berkaitan dengan efek tak adanya gravitasi pada cairan serebrospinal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement