Ahad 05 Sep 2021 17:23 WIB

Childfree Punya Dampak hingga Risiko Biologis untuk Wanita

Pilihan suami istri untuk childfree bukan tanpa risiko sama sekali

Pilihan suami istri untuk childfree bukan tanpa risiko sama sekali. Ilustrasi anak
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pilihan suami istri untuk childfree bukan tanpa risiko sama sekali. Ilustrasi anak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—  Pilihan hidup menjalani childfree, atau menikah tapi memilih tidak punya anak, memiliki sejumlah dampak hingga risiko biologis, terutama bagi wanita.     

"Seberapa kita mau memenuhi hak kita, tetap perlu diimbangi dengan seberapa dalam kita mempertimbangkan dan memutuskan hak tersebut dengan sudah tahu konsekuensi dan plus-minusnya," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo, SpOG(K), Ahad (5/9).  

Baca Juga

"Jangan hanya karena kita bebas menentukan, tapi tidak mengetahui risikonya. Banyaklah membaca, karena lebih baik tahu duluan sebelum mengambil keputusan," ujarnya menambahkan.

Dari sisi biologis, Hasto mengatakan kebanyakan para wanita yang mengidap tumor dan kanter rahim, adalah mereka yang tidak memiliki anak atau yang memiliki hanya satu orang anak.

Mengutip laman Cancer.org, kanker rahim dapat menyerang wanita tanpa memandang usia, namun lebih sering menyerang mereka yang tidak pernah memiliki anak, atau mereka yang memiliki anak pertama setelah usia 35 tahun.

"Mereka yang mengidap tumor rahim, (risiko) lebih cenderung meningkat pada mereka yang nuliparitas (tidak punya anak, atau punya anak satu)," kata dr Hasto. Pun dengan tumor dan kanker payudara, kata dia.

Hasto mengatakan, tumor dan kanker payudara cenderung banyak menyerang wanita yang tidak menyusui. Mengutip laman Cancer Center, wanita yang belum memiliki anak, atau yang memiliki anak pertama setelah usia 30 tahun, mungkin memiliki peluang sedikit lebih tinggi terkena kanker payudara. Itu karena jaringan payudara terpapar lebih banyak estrogen untuk jangka waktu yang lebih lama.

Selain itu, ada juga kista endrometrosis, di mana sekitar 30-50 persen wanita yang mengalami endometriosis biasanya juga mengalami gangguan kesuburan atau infertilitas.

Meski endometriosis dapat mengganggu kesuburan, ada beberapa solusi yang mungkin bisa dijalani pasien agar bisa hamil, tergantung pada usia dan tingkat keparahan endometriosisnya.

"Oleh karena itu, jangan anggap kalau tidak punya anak itu bebas dari risiko. Pengetahuan kesehatan reproduksi perlu dibangun, terlebih karena perempuan siklusnya jalan terus, setiap bulan telurnya kecil, membesar, kemudian pecah dan menstruasi," kata dr Hasto.

"Ketika wanita pernah hamil, siklus itu disetop selama sembilan bulan, dan itu ada baiknya, mengistirahatkan rahim dari putaran siklus hormon itu," ujar mantan Bupati Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta tersebut menambahkan.

Lebih lanjut, dr Hasto mengatakan bahwa penting bagi wanita yang memutuskan childfree untuk memperkaya wawasan terkait dampak dan risiko bagi tubuhnya.

"Seandainya mereka ingin childfree dan tahu risikonya dan kontrol secara baik, seperti misalnya payudara dikontrol secara rutin, rahimnya di-scanning secara periodik dari penyakit-penyakit yang biasanya datang kepada mereka yang tidak hamil, itu berarti baik karena dilakukan dengan rutin," kata dia.

"Hal-hal seperti itu perlu sebagai imbangan pendapat childfree karena terpengaruh oleh emosional, tapi kemudian tidak tahu risiko-risikonya. Itu perlu diingatkan," imbuh pria lulusan Fakultas Kedokteran UGM itu.

Dia juga mengusulkan bagi pasangan yang masih muda, sehat, dan mampu, untuk melakukan adopsi anak. "Usul saya, kalau mereka sehat dan mampu, mungkin bisa adopsi (anak). Karena banyak dari masyarakat yang anaknya banyak tapi tidak mampu (memenuhi kebutuhan). Kalau punya rezeki, silakan," ujarnya.     

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement