REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus cytomegalovirus (CMV) terus meningkat pada pasien Covid-19. CMV merupakan kelompok virus herpes yang mampu menginfeksi dan bertahan di tubuh untuk waktu yang lama.
Beberapa rumah sakit di India telah melaporkan kasus pendarahan dubur dan sakit perut pada pasien sekitar 20-30 hari setelah deteksi Covid-19. Penyebabnya adalah penekanan kekebalan akibat infeksi SARS-CoV-2.
Penggunaan steroid berlebihan pun memberi peluang CMV untuk menyerang orang positif Covid-19. Dokter spesialis penyakit menular di Fortis Mulund and Kalyan Hospital, Dr Kirti Sabnis, menjelaskan bahwa CMV atau Human herpesvirus 5 (HHV-5) adalah salah satu infeksi persisten yang paling umum.
"CMV terjadi sebagai infeksi alami pada masa kanak-kanak dan tetap asimtomatik pada pasien dengan kekebalan normal," jelas Sabnis.
Setelah terinfeksi, tubuh menyimpan virus seumur hidup. Kebanyakan orang tidak sadar bahwa mereka menderita CMV karena jarang menimbulkan masalah.
Sabnis mengatakan, biasanya virus herpes itu memengaruhi mereka yang kekebalannya terganggu, seperti pengidap kanker, AIDS, atau orang yang telah menjalani transplantasi. Seseorang dapat tertular infeksi CVM melalui kontak dengan air liur, darah, urine, air mani, cairan vagina, atau ASI orang yang terinfeksi.
Menurut Sabnis, infeksi virus penyebab Covid-19 dan obat-obatan, utamanya steroid, yang digunakan untuk pengobatannya dapat menekan imunitas. Kondisi itu membuat mereka rentan terhadap infeksi yang tidak biasa.
"Semua pasien mengalami jumlah limfosit rendah (6 persen hingga 10 persen dibandingkan dengan normal 20 persen hingga 40 persen) yang menunjukkan penekanan kekebalan yang diinduksi Covid-19 dapat menjadi predisposisi untuk reaktivasi gejala infeksi CMV," kata dia.
Kebanyakan orang yang terkena CMV tidak memiliki gejala yang nyata. Gejala-gejala yang mungkin dirasakan antara lain demam, keringat dingin, kelenjar bengkak, nyeri sendi dan otot, nafsu makan rendah, dan berat badan turun.