REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengonsumsi lebih dari satu obat pada saat bersamaan bisa menimbulkan perubahan manfaat atau efek samping obat. Begitu juga apabila pemberian obat berbarengan dengan makanan, minuman, suplemen, atau bahan herbal tertentu.
Kondisi demikian disebut dengan istilah interaksi obat. Akan tetapi, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Profesor Retnosari Andrajati, menjelaskan bahwa interaksi obat tidak selalu terjadi. Kalaupun terjadi, efeknya bisa positif maupun negatif.
"Ada obat yang pemberiannya sengaja dikombinasikan karena sudah terbukti bahwa jika diberikan bersamaan akan memberi efek positif. Menambah efek kedua obat dibandingkan jika pemberiannya terpisah," ujar pakar farmasi klinik tersebut.
Retno menjelaskan lebih lanjut mengenai efek negatif dari interaksi obat. Terdapat beberapa tingkatan kategori. Misalnya, interaksi obat tidak memberikan efek positif tapi tidak menyebabkan masalah apapun. Ada pula yang menyebabkan masalah tapi tidak terlalu signifikan.
Jika demikian, lebih dari satu obat masih bisa diberikan bersamaan, dengan melakukan monitoring mengenai masalah yang kemungkinan timbul. Ada juga interaksi obat yang masalahnya benar-benar besar sehingga sama sekali tidak boleh diberikan bersamaan.
Dengan mengonsumsi lebih banyak obat, ada kemungkinan terjadi interaksi obat, meski bisa pula tidak menimbulkan interaksi apa-apa. Pasalnya, pemberian obat bukan berdasar hitungan matematis dan efek obat bervariasi pada setiap orang.
Hal sama juga berlaku pada pengidap Covid-19. Risiko interaksi obat tidak sama untuk setiap orang. Karenanya, Retno mengimbau pasien agar menyampaikan kondisinya dengan jelas kepada tenaga kesehatan, terutama jika memiliki penyakit penyerta atau komorbid.
Kepala Unit Farmasi dan Central Sterilization Supply Department (CSSD) Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) itu menyampaikan, tenaga kesehatan yang paling mengetahui tentang interaksi obat adalah apoteker. Namun, dokterlah yang mengetahui penyakit pasien dan punya keputusan meresepkan obat.
Pasien dapat bertanya dan berkonsultasi mengenai kondisinya sebelum dokter meresepkan obat. Dengan begitu, dokter akan memperhitungkan apakah ada interaksi obat yg membahayakan atau berpotensi mengurangi dan menghilangkan efek obat.
Retno menginformasikan bahwa fasilitas kesehatan seperti rumah sakit pasti memiliki prosedur pemantauan efek obat. Hal itu dilakukan baik oleh dokter yang meresepkan obat, perawat yang merawat pasien, serta apoteker yang bertanggung jawab terkait obat.
Menurut Retno, tenaga kesehatan pasti dengan cermat memperhatikan kemungkinan adanya interaksi penambahan efek samping. Begitu juga pemberian obat untuk pengidap Covid-19 berdasarkan gejalanya, baik itu ringan, sedang, atau berat.
Dengan masih merebaknya pandemi Covid-19, para peneliti pun terus menjalankan berbagai riset terkait penyakit baru tersebut, termasuk dalam hal perawatan dan pengobatannya. Para tenaga kesehatan juga mendiagnosis dan menyiapkan obat sesuai kondisi yang ada.
Pada prinsipnya, hampir semua obat bisa menimbulkan efek samping dan punya tingkatan risiko berbeda-beda bagi setiap orang. Apabila tenaga kesehatan mengetahui akan ada interaksi obat dengan dampak negatif yang fatal, pasti obat tidak akan diberikan.
"Melakukan pencegahan jika risiko obat lebih besar dari manfaatnya. Kalau diketahui ada risiko tapi manfaat dari obat lebih besar, tetap akan diberikan," tutur Retno.
Retno menyampaikan paparannya pada webinar "Bertemu Pakar untuk Menjawab Bagaimana Risiko Interaksi Obat pada Penderita Covid-19". Acara yang disiarkan di kanal Youtube Fakultas Farmasi UI, Sabtu (24/7), itu digagas oleh Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.