Kamis 22 Jul 2021 21:05 WIB

Studi Temukan Kasus Bell's Palsy dari Vaksin Pfizer

Bell’s Palsy adalah istilah medis untuk kondisi kelumpuhan otot di wajah.

Rep: Puti Almas/ Red: Nora Azizah
Sebuah studi terbaru menemukan kaitan antara Bell’s Palsy dengan vaksin Pfizer.
Foto: EPA-EFE/IGOR KUPLJENIK
Sebuah studi terbaru menemukan kaitan antara Bell’s Palsy dengan vaksin Pfizer.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin untuk mencegah infeksi virus corona jenis baru (COVID-19) dari Pfizer menawarkan perlindungan yang cukup terhadap virus, seperti vaksin lainnya. Ada beberapa efek samping umum yang kerap dilaporkan pasca vaksin diberikan, mulai dari kelelahan, nyeri atau pegal di area suntikan, mual, maupun sedikit demam.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) melaporkan ada efek samping serius yang jarang ditemukan. Sebuah studi terbaru menemukan kaitan antara Bell’s Palsy dengan vaksin Pfizer.

Baca Juga

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal BMJ Case Reports ini merinci kasus seorang pasien berusia 61 tahun dirawat di ruang gawat darurat setelah mulai mengeluarkan air liur, kehilangan kemampuan untuk menutup mata kanannya, dan sisi kana dahinya tidak bisa bergerak sekitar lima jam setelah menerima dosis pertama vaksin Pfizer. Dokter kemudian mendiagnosis pria ini mengalami Bell’s Palsy setelah CT Scan dan tes darah dilakukan.

Bell’s Palsy adalah istilah medis untuk kondisi kelumpuhan otot di wajah yang biasanya bersifat sementara. Steroid adalah salah satu yang sering direkomendasikan untuk pengobatan kondisi ini.

Laporan mencatat bahwa dua hari setelah menerima dosis kedua vaksin Pfizer, pasien yang sama harus kembali dirawat di rumah sakit dengan kasus kelumpuhan wajah. Kali ini, kondisinya lebih parah di bagian sisi kiri.

"Terjadinya kondisi ini segera setelah setiap dosis vaksin sangat menunjukkan bahwa Bell's palsy dikaitkan dengan vaksin Pfizer - BioNTech, meskipun hubungan sebab akibat tidak dapat ditetapkan," ujar Abigail Burrows, penulis utama studi dari Royal Surrey County Hospital NHS Yayasan Trust, dilansir Best Life Online, Kamis (22/7).

Sejak kedua kalinya kasus Bell’s palsy terkait vaksin Pfizer dicatat, peneliti melaporkan bahwa ada kemunhkinan ini terjadi karena riwayat kesehatan pasien. Diantaranya adalah tekanan darah tinga, kolestrol tinggi, dan diabetes tipe 2, serta kelebihan berat badan.

"Pasien telah disarankan untuk mendiskusikan vaksin mRNA di masa depan dengan dokter mereka berdasarkan kasus per kasus, dengan mempertimbangkan risiko versus manfaat dari setiap vaksin," jelas tim peneliti.

Ini bukanlah kasus Bell's palsy pertama yang dilaporkan sebagai efek samping potensial dari vaksin COVID-19. Selama uji klinis fase tiga, empat sukarelawan yang menerima vaksin mRNA Pfizer - BioNTech melaporkan kelumpuhan wajah.

Selain itu, tiga sukarelawan yang menggunakan vaksin Moderna juga melaporkan kondisi tersebut, serta satu orang dari kelompok plasebo uji coba. Namun, beberapa ahli mengingatkan bahwa masih ada cukup bukti untuk menghubungkan vaksin Pfizer dengan kelumpuhan wajah.

"Bell's palsy bukanlah kondisi yang langka, dan mungkin kebetulan yang sangat disayangkan bahwa pasien memiliki dua kejadian pada saat itu," kata Kevin McConway, profesor emeritus statistik terapan di The Open University yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Menurut McConway, jika Bell's palsy pada satu pasien ini disebabkan oleh vaksin, satu laporan kasus tidak dapat memberi tahu apa pun tentang seberapa besar kemungkinan kondisi ini terjadi setelah vaksinasi. Penulis penelitian juga menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 bukanlah yang pertama berpotensi dikaitkan dengan kelumpuhan wajah.

"Pada 2004, vaksin influenza intranasal yang tidak aktif terbukti secara signifikan meningkatkan risiko Bell's palsy dan dihentikan,” ujar tim peneliti.

Tim peneliti mencatat bahwa peningkatan insiden Bell's palsy juga terlihat setelah vaksin meningokokus lainnya, meskipun hubungan sebab akibat belum ditetapkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement