REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 turut berpengaruh terhadap cara masyarakat belanja makanan. Hal tersebut diungkap oleh Ran Xu, profesor ilmu kesehatan dari College of Agriculture, Health, and Natural Resources di Storrs, Amerika Serikat, lewat studi yang digagasnya.
Menurut temuan penelitian yang sudah terbit di Public Health itu, selama pandemi rata-rata orang lebih jarang pergi berbelanja ke toko kelontong. Meski frekuensinya berkurang, rata-rata orang menghabiskan lebih banyak uang per kunjungan selama pandemi.
Xu juga mendalami apakah tren serupa berlaku untuk orang-orang yang masuk kategori rawan pangan. Krisis kesehatan ditambah kondisi kehilangan pekerjaan terkait pandemi dan faktor lainnya memperburuk tingkat kerawanan pangan secara keseluruhan.
Dalam makalahnya, Xu mengevaluasi bagaimana persepsi penghindaran risiko, kelangkaan sumber daya, dan status ketahanan pangan konsumen memengaruhi perilaku pengadaan pangan. Hasilnya, ada perbedaan antara individu yang tahan pangan dan yang rawan pangan.
Individu yang rawan pangan juga melakukan lebih sedikit perjalanan belanja bahan makanan karena kekhawatiran tertular Covid-19. Namun, tidak seperti individu yang memiliki ketahanan pangan, mereka tidak meningkatkan pengeluaran per kunjungan belanja.
Bersama tim, Xu mengukur kerawanan pangan menurut dua ukuran dari survei kerawanan pangan Departemen Pertanian AS (USDA). Periset bertanya kepada responden apakah mereka cemas persediaan makanan akan habis sebelum tersedia uang untuk kembali membelinya.
Pertanyaan lain, apakah ada kekhawatiran bahwa makanan yang dibeli tidak bertahan lama dan tidak ada uang untuk membeli lebih banyak. Para peneliti juga mengevaluasi perilaku belanja makanan peserta studi, jenis toko yang dikunjungi, frekuensi perjalanan, dan rata-rata pengeluaran belanja.