REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam lima bulan terakhir, program vaksinasi untuk mencegah infeksi virus corona jenis baru (COVID-19) sudah berjalan di Indonesia. Sejauh ini, 22 persen dari populasi masyarakat sudah mendapatkan vaksin atau mencapai 181,5 juta orang.
Beberapa produk vaksin yang digunakan adalah CoronaVac dari Sinovac dan AstraZeneca untuk program vaksinasi dari pemerintah. Meski demikian, hingga saat ini ada sejumlah pertanyaan sekaligus kekhawatiran dari masyarakat mengenai vaksin, secara khusus dari AstraZeneca terkait adanya kematian yang terjadi pada pengguna pasca mendapatkan suntikan vaksin ini.
Zullies Ikawati, guru besar Fakultas Farmasi UGM sekaligus mantan pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengatakan bahwa kematian yang terjadi telah dipastikan tidak berhubungan dengan penggunaan vaksin AstraZeneca. Ia menyebut banyak pertanyaan datang terkait keamanan vaksin ini. diantaranya adalah apakah vaksin ini bisa menyebabkan pembekuan darah, yang berujung dengan kondisi fatal berupa kematian.
Menurut Zullies, hasil evaluasi European Medicines Agency (EMA), sejauh ini menunjukkan ada hubungan kuat antara kondisi pembekuan darah dengan penggunaan vaksin AstraZeneca. Namun, kejadiannya sangat jarang.
Hingga 5 Mei, di Eropa telah ada laporan kejadian pembekuan darah akibat vaksin AstraZeneca sebanyak 262 kasus, dengan 51 diantaranya meninggal, dari penggunaan sebanyak 30 juta dosis vaksin. Jika dihitung, maka persentase kejadiannya sangat kecil.
“Itulah mengapa EMA, semacam BPOMnya Eropa, masih menilai bahwa meski memang vaksin ini dapat menyebabkan reaksi pembekuan darah, manfaatnya masih lebih besar daripada risikonya, sehingga vaksin ini tetap boleh diberikan,” ujar Zullies dalam keterangan pers yang diterima republika.co.id pada Senin (21/6).
Mekanisme penyebab pembekuan darah dari vaksin AstraZeneca masih dipelajari. Namun, diduga reaksi pembekuan darah yang jarang ini berkaitan dengan platform vaksinnya, yaitu viral vector menggunakan adenovirus.
“Memang belum bisa dipastikan, tetapi penelitian sebelumnya menggunakan platform adenovirus ternyata menghasilkan reaksi yang sama, yaitu aktivasi platelet yang menyebabkan pembekuan darah,” jelas Zullies.
Reaksi yang sama juga dijumpai pada penggunaan vaksin COVID-19 dari Johnson & Johnson yang menggunakan platform yang sama, yaitu adenovirus. Penggunaan vaksin Johnson & Johnson sempat dihentikan di Amerika Serikat (AS), tetapi setelah dievaluasi bisa digunakan kembali.
Zullies mengatakan diduga ada reaksi imun yang berlebihan terhadap vaksin yang berasal dari adenovirus, ketika vaksin tersebut berikatan dengan platelet, kemudian memicu serangkaian reaksi imun yang menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Reaksi ini sebenarnya bisa membaik sendiri, tetapi ada yang bisa berakibat fatal.
Reaksi semacam ini mirip dengan reaksi pada pasien yang sensitif terhadap heparin, sejenis obat pengencer darah. Alih-alih mengencerkan darah, yang terjadi adalah darah membeku, yang disebut sebagai heparin-induced thrombocytopenia and thrombosis (HITT or HIT type 2).
“Mungkin analoginya adalah reaksi syok anafilaksis akibat pemberian antibiotik golongan penisilin, yang jarang terjadi dan tidak selalu bisa diprediksi,” kata Zullies.