Ahad 20 Jun 2021 07:53 WIB

Studi: Terkena Flu, Infeksi Covid-19 Bisa Terhambat

Flu memperlambat timbulnya infeksi Covid-19 dengan merangsang sistem kekebalan tubuh.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Nora Azizah
Flu memperlambat timbulnya infeksi Covid-19 dengan merangsang sistem kekebalan tubuh.
Foto: MASHAROSHEN.COM
Flu memperlambat timbulnya infeksi Covid-19 dengan merangsang sistem kekebalan tubuh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi menunjukkan bagaimana paparan akut terhadap flu dapat memperlambat timbulnya infeksi SARS-CoV-2, dengan merangsang sistem kekebalan. Penelitian menunjukkan dengan sangat rinci bagaimana sistem kekebalan tubuh tersebut lebih efektif menahan replikasi awal virus corona.

SARS-CoV-2, virus corona yang menyebabkan Covid-19, diketahui masuk ke tubuh melalui hidung atau mulut, dan memulai replikasi pertamanya di saluran pernapasan bagian atas. Pada hari-hari pertama infeksi itu, sebelum gejala penyakit Covid-19 muncul, virus menunjukkan kemampuannya menghindari deteksi dari mekanisme pertahanan utama tubuh.

Baca Juga

Antigen, sel-T, dan respons imun lain yang lebih komprehensif dapat memakan waktu berhari-hari untuk bekerja, sehingga tubuh kita memiliki mekanisme seluler lebih cepat untuk bertindak sebagai alarm untuk infeksi virus. Protein pensinyalan garis depan itu disebut interferon.

Ketika sebuah sel terinfeksi virus, dia menghasilkan interferon, yang berfungsi sebagai semacam suar darurat yang memberi tahu sel-sel terdekat bahwa penyerang virus sudah dekat. Interferon memainkan sejumlah peran, terutama membantu mengatur aktivitas sel kekebalan. Namun, beberapa virus mengembangkan “strategi” untuk menghindari pensinyalan interferon yang memungkinkan beberapa hari replikasi, tanpa hambatan sebelum pertahanan kekebalan lainnya.

Studi baru itu, yang dipimpin oleh tim ilmuwan dari Fakultas Kedokteran Universitas Yale, pertama kali berangkat untuk lebih memahami apa yang terjadi dalam beberapa hari pertama infeksi SARS-COV-2? Para peneliti melihat pasien yang menjalani skrining Covid-19 pra-operasi rutin, memungkinkan mereka untuk menunjukkan subjek pra-gejala pada tahap infeksi paling awal.

Penulis senior dalam studi baru, Ellen Foxman mengatakan, setelah pasien melalui tahap awal infeksi virus mengungkapkan SARS-CoV-2 dapat dengan cepat bereplikasi dalam dua hingga tiga hari pertama infeksi sebelum sistem kekebalan menyerang. Data menunjukkan viral load dapat berlipat ganda setiap enam jam selama periode ini.

"Tampaknya ada titik virus pada awal Covid-19, di mana virus bereplikasi secara eksponensial sebelum memicu respons pertahanan yang kuat," kata Foxman dilansir New Atlas, Ahad (20/6).

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan flu biasa di suatu komunitas dapat mengganggu penyebaran wabah influenza. Jadi, Foxman dan tim kemudian pindah ke laboratorium dan mulai bereksperimen dengan model jaringan saluran napas manusia untuk mengetahui apakah, dan bagaimana, infeksi rhinovirus dapat menghambat replikasi SARS-CoV-2 pada tahap pra-gejala awal ini?

Hipotesis tim terbukti benar. Ketika sel saluran napas terinfeksi rhinovirus sebelum paparan SARS-CoV-2, interferon disiapkan dan dengan cepat menghambat kemampuan virus corona untuk bereplikasi.

“Satu virus memblokir replikasi virus yang tidak terkait,” ujar Foxman.

Sayangnya, kondisi itu tidak segera memberikan petunjuk untuk perawatan Covid-19 baru. Meskipun ada uji coba yang saat ini menyelidiki apakah infus interferon dapat membantu pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2? Salah satu ciri Covid-19 parah yang menyebabkan kematian adalah respons imun yang terlalu aktif.

Namun demikian, hasil ini menjelaskan cara virus yang sebelumnya tidak diketahui berinteraksi dan mengganggu satu sama lain. Studi baru ini membantu kita memahami mengapa beberapa orang pada akhirnya mungkin mengalami infeksi Covid-19 ringan atau tanpa gejala, sementara yang lain menunjukkan viral load yang tinggi dan berakhir dengan penyakit parah?

"Ada interaksi tersembunyi antara virus yang tidak begitu kita pahami, dan temuan ini adalah bagian dari teka-teki yang baru saja kita lihat," kata Foxman. Studi baru itu diterbitkan dalam Journal of Experimental Medicine.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement