REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gaya hidup konsumtif, atau lebih dikanal dengan sebutan ‘hedonisme’ memang akrab dengan perilaku masyarakat metropolitan. Kata ‘Hedon’ biasa disematkan kepada seseirang yang memiliki hasrat berbelanja tinggi, membeli secara spontan atau tanpa berpikir panjang.
Kata 'hedon' sendiri berasal dari bahasa Yunani, hedonismeos yang berasal dari kata hedone, yang berarti kesenangan. Hedone juga diartikan sebagai sebuah cara pandang yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kesenangan sebanyak mungkin, seperti menikmati hiburan, berlibur, berbelanja, melakukan seks, dan lainnya.
Untuk meredam hasrat hedonisme, Rizqi Syam, Financial Planner di Finansialku.com menyarankan untuk mulai melakukan pencatatan keuangan, untuk mengetahui biaya masuk dan keluar agar terhindari dari anggaran yang berlebihan (overbudget). Dengan mencatat keuangan, dapat mempermudah tercapainya tujuan keuangan (financial goals), kata dia.
“Pencatatan keuangan sangat penting bagi mereka yang miliki financial goals tertentu, karena setiap financial goals tentu memiliki target waktu pencapaian, sehingga melalui pencatatan ini, pengelolaan dana dapat diatur dengan lebih mudah,” ujar RIzqi kepada Republika.co.id, Kamis (15/4).
Adapun bagi mereka yang terbiasa memiliki gaya hidup hedonis, hal pertama yang perlu dilakukan adalah merancang dan menentukan tujuan keuangan, yang dilanjutkan dengan proses pemeriksaan keuangan (auditing), untuk mengetahui besaran aset dan kekayaan yang dimiliki. Selanjutnya adalah merencanakan pemetaan anggaran, mulai dari biaya hidup (living cost), tabungan, investasi, hingga cicilan. “Itu semua harus clear,” tegasnya.
Dalam proses mencapai financial goals, tentu rintangan akan datang silih berganti, salah satunya ada godaan untuk memenuhi keranjang di e-commerce yang menawarkan diskon bulanan, juga menghentikan kebiasaan yang cenderung menghabiskan uang untuk memperoleh kesenangan sesaat.
Dalam buku Your Money Your Life, Vicki Robin menjelaskan bahwa setiap orang memiiki cara unik untuk mengalihkan rasa stresnya. Kebiasaan ini bersifat adiktif bahkan spontan. Misalnya kecenderungan untuk berbelanja saat sedang badmood atau bepergian ke luar kota untuk mengusir rasa jenuh.
“Kita harus tahu kebiasaan buruk tersebut dalam diri kita, karena bisa jadi setiap orang berbeda-beda. Kelemahan ini dapat diketahui ketika kita sudah berhasil mengaudit keuangan kita, karena dari hasil audit tersebut akan terlihat berapa banyak dana yang kita habiskan untuk hal yang tidak benar-benar dibutuhkan,” jelas Rizqi.
Solusi ditawarkan Rizqi untuk menghindari resiko overbudget atau bahkan ‘bocor halus’, adalah memisahkan kantong-kantong dana sesuai fungsi penggunaannya. Misalnya, dana tabungan dipisahkan di rekening tersendiri, tanpa difasilitasi akses mobile banking, agar risiko penyalahgunaan dana dapat dihindari. Dana untuk biaya keperluan sehari-hari juga perlu dipisahkan di rekening berbeda, dengan fasilitas mobile banking, untuk memudahkan pengecekan cashflow.
“Merencanakan keuangan perlu dilakukan dengan serius dan harus jelas pencatatannya, karena anggaran keuangan ini akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya kita mencapai financial goals. Jika tidak dirancang dengan serius maka risiko 'bocor halus' atau dananya terpakai untuk hal lain, akan tinggi bahkan bisa jadi overbudget,” tuturnya.