REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Generasi Z menghadapi krisis finansial terburuk yang belum pernah dialami oleh generasi sebelumnya. Meningkatnya biaya hidup, tingginya utang pribadi, dan stagnasi upah membuat banyak dari mereka kesulitan membangun masa depan yang stabil secara finansial.
Laporan "Better Money Habits 2025" dari Bank of America mencatat, sebanyak 72 persen Gen Z dewasa (usia 18-28 tahun) secara aktif berusaha memperbaiki keuangannya. Namun mereka tetap berada di bawah tekanan ekonomi yang tidak bersahabat.
Menurut laporan itu, mayoritas Gen Z mengeluhkan pengeluaran bulanan yang jauh lebih tinggi dari perkiraan. Biaya bahan makanan (63 persen), sewa dan tagihan utilitas (47 persen), serta makan di luar (42 persen) menjadi pos pengeluaran yang paling membengkak.
"Sebanyak 51 persen bahkan menyebut biaya hidup sebagai penghambat utama menuju kestabilan finansial," demikian berdasarkan laporan tersebut, dilansir dari The Economic Times, Sabtu (2/8/2025).
Tak hanya kebutuhan pokok yang terdampak, tekanan ekonomi juga mempengaruhi kehidupan romansa kelompok muda-mudi ini. Data menunjukkan bahwa sekitar 53 persen laki-laki dan 54 persen perempuan Gen Z tidak memiliki dana untuk berkencan setiap bulannya.
Kebiasaan self-reward yang dilakukan sebagai bentuk perayaan kecil atau pelarian dari stres juga menjadi sorotan dalam laporan ini. Sekitar 57 persen Gen Z mengaku membeli hadiah untuk diri sendiri setidaknya seminggu sekali. Namun, bagi 59 persen, kebiasaan ini sering memicu pemborosan.
Saat kecemasan finansial muncul, 90 persen Gen Z juga merespons secara aktif dengan mengecek saldo bank atau membuat anggaran. Akan tetapi, sepertiga (33 persen) justru menghindari mengelola keuangan karena stres, sementara 30 persen cenderung belanja impulsif sebagai pelarian emosional.