Ahad 14 Mar 2021 07:45 WIB

Saran untuk Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Hipospadia

Hipospadia sendiri merupakan kelainan bawaan lahir.

Rep: Puti Almas/ Red: Muhammad Hafil
Saran untuk Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Hipospadia. Foto ilustrasi: Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa (tengah) memperkenalkan Serda Aprilia Manganang via videotron di Markas Besar TNI Angkatan Darat (Mabes AD), Jakarta, Selasa (9/3/2021). Aprilia Manganang diperlkenalkan kembali dengan jenis kelamin laki-laki usai melakukan corrective surgery oleh tim dokter TNI AD.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih lanjut, Ine menyebutkan bahwa bukan tidak mungkin akan ada masalah yang dihadapi para orang tua dengan anak yang memiliki hipospadia saat mereka beranjak dewasa. Meski belum banyak yang diketahui tentang penyakit ini, sebagai contoh, anak memiliki masalah hormon yang membuat kejanggalan seperti tampilan fisik atau perasaan.

Dalam kasus hipospadia yang dialami Aprilia, ia pada awalnya dinyatakan sebagai perempuan hanya dari tampilan fisik dan tidak pernah mendapatkan pemeriksaan medis lebih lanjut sejak kecil karena keterbatasan ekonomi. Ine mengatakan jika yang terjadi dalam kasus ini mungkin dapat dialami atau bahkan sebaliknya, maupun penyakit yang dialami adalah kategori berat sehingga tidak dapat disembuhkan secara total.

“Dari literatur yang saya baca secara awam orang yang mengalami hipospadia sejak awal adalah laki-laki. Tapi, jika di kemudian hari terdapat masalah hormon, ada kemungkinan karena salah satu faktor penyebab penyakit ini disebut adalah kelainan hormon saat ibu mengandung,” jelas Ine.

Jika demikian, Ine mengatakan orang tua tentu harus tetap bersikap menerima, memahami, dan mendukung anak sepenuhnya. Jangan membuat anak pada akhirnya merasa tidak didukung, hingga akhirnya menutup diri dari keluarga.

“Orang tua harus mendukung anak dengan hipospadia karena mungkin dia sudah merasa berbeda dan ini bukan sesuatu yang dia inginkan. Jadi perlu ter buka dengan anak, jangan sampai dia akhirnya tidak percaya diri,” kata Ine. 

Ine mengatakan orang tua dengan anak yang memiliki hipospadia perlu mencari tahu lebih lanjut mengenai bagaimana penyakit ini mempengaruhi kondisi secara keseluruhan. Termasuk mengenai  apakah itu dapat mempengaruhi aspek sosial.

Dalam hal ini, orang tua perlu bersikap terbuka dan mendengarkan anak. Sebagai contoh, saat anak masih di usia kanak-kanak bertanya mengenai perbedaan yang dirasakan.

“Orang tua harus komunikasi dengan cara mendengar aktif, misal anak bertanya kenara aku begini, bisa dijawab oh ya kamu lahir dalam kondisi sakit, itu bukan salah kamu,” jelas Ine.

Ine mengatakan dengan bersikap mendengarkan, anak akan merasa bahwa orang tua memahami mereka. Selain itu, metode komunikasi dengan diskusi dapat digunakan, seperti aktif bertanya kepada anak saat mereka membahas tentang perbedaan yang dirasakan.

“Misal mereka ngomong ‘kok aku merasa berbeda?’ Nah orang tua bisa tanya lagi, seperti kamu merasa berbedanya gimana? Terus nyamannya gimana? Hingga dia sudah tidak ada klu, orang tua bisa masuk untuk memberi nasehat, jadi tidak satu arah komunikasinya,” kata Ine.

Satu hal lainnya yang sangat penting menurut Ine adalah meskipun seseorang mengalami hipospadia, jangan sampai itu menjadi satu-satunya isu dalam kehidupannya. Seperti Aprilia, meski terlahir dengan penyakit ini, ia tetap bisa beraktualisasi dan membuka diri dengan mengikuti bakat yang dimilikinya.

“Padahal secara logika, tekanan yang dialaminya mungkin selama ini itu tentu tidak mudah, tapi dia membuktikan untuk berjuang dan saya berasumsi bahwa dia (Aprilia) mendapatkan dukungan yang cukup baik dari keluarganya,” jelas Ine.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement