Senin 22 Feb 2021 08:42 WIB

Pentingnya Storytelling dalam Promosi Kuliner

'Storytelling' memiliki kekuatan tersendiri dalam mempromosikan makanan.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Nora Azizah
'Storytelling' memiliki kekuatan tersendiri dalam mempromosikan makanan.
Foto: Republika/Amin MAdani
'Storytelling' memiliki kekuatan tersendiri dalam mempromosikan makanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media sosial saat ini sedang menjadi ujung tombak medium pemasaran bagi para pelaku usaha, khususnya bagi para pengusaha kuliner. Model iklannya pun sudah beragam dan kreatif, sehingga para pengiklan harus benar-benar matang memikirkan konsep.

Dalam iklan kuliner, sangat dibutuhkan kemampuan untuk menceritakan rasa sebuah santapan secara apik, baik melalui visual, tulisan, maupun dengan bertutur langsung melalui konten video unggahan. Bercerita dengan data, akan menjadi kekuatan tersendiri dalam sebuah iklan.

Baca Juga

“Kenapa saya bolak balik katakan ‘ayo dong storytelling dimajukan’, karena storytelling ini sebenarnya digunakan untuk bermacam produk,” ujar Culinary Storyteller Ade Putri Paramadita, dalam virtual media briefing #MulaiBarengBeko, belum lama ini.

Kemampuan storytelling para pelaku usaha dibutuhkan untuk membalut produk, menambahkan nilai jual tanpa menjadikannya hard selling. Hal ini meliputi kelihaian berkisah mengenai asal usul santapan, proses pembuatan hingga manfaatnya.

Kalau kita sedang menonton YouTube seringkali ada iklan yang tiba-tiba muncul, di sini lah caranya pengiklan memikirkan bagaimana iklannya bisa nyantol selain dengan tulisan diskon 70 persen. Dan biasanya, seringkali yang kita tonton sampai habis dan tidak di-skip adsnya adalah ketika storytelling.

Misalnya seorang ibu sedang menyiapkan sarapan untuk anaknya, lalu ada sesuatu kejadian, itu biasanya bikin penasaran kelanjutannya bagaimana. “Padahal lagi mau nonton film tertentu tapi kita berlanjut tonton ads itu. Ada kekuatan storytelling,” kata Ade.

Lalu iklan makanan tradisional Indonesia, yang sudah kenal sih mungkin enak ya karena sudah tahu. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang belum pernah makan ini, bagaimana cara memberitahunya, apakah kita hanya bilang ‘oh ini makanan paling enak yang pernah ada di Jakarta’?

“Kalau cuma ngomong begitu, yang beli paling cuma 2 persen, sisanya kayak mikir ‘masih banyak kali tempat lain yang makanannya lebih enak’. Jadi ketika storytelling ini, banyak orang berpikir, apakah harus dengan kata-kata membuai dan cantik? Bukan, bukan itu. Storytelling bukan hanya tentang pemilihan kata. Itu urusan belakangan,” tutur Ade.

Storytelling lebih ke bagaimana orang bisa mendengarkan kita. Misalnya, hendak menjual sup merah dengan resep nenek kita, dan nenek kita hanya membuat makanan itu untuk hari perayaan besar. Di sinilah bagaimana menceritakan itu agar menarik, bukan hanya sekedar sup merah dan isinya, tapi menceritakan bagaimana nenek ini mengeluarkan menu spesial ini hanya pada acara tertentu, lantas ada apa isinya?

Kalau perlu ceritakan yang menarik dari prosesnya, misalnya ayamnya harus dipanggang dulu baru dimasukkan ke dalam sup agar tercipta rasa smoky. Tapi tidak sekedar itu, tambah lagi sejak mulai jualan bagaimana reaksi orang, jika nenek masih ada, apa tanggapan nenek setelah resepnya go public.

“Itu bisa jadi materi storytelling. Jadi storytelling itu nggak sempit dan nggak jadi patokan kata-katanya saja. Kita harus kenali produk, dan gali kisahnya,” beber Ade.

Dengan begitu, konsumen akan lebih mudah merasa lekat hingga ingin mencoba produk, yang nantinya dapat dinikmati tak hanya dengan indera pengecap saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement