Kamis 19 Nov 2020 11:13 WIB

Mengatasi Rasa Bersalah karena Menularkan Covid-19

Orang yang kena Covid-19 dibayangi rasa bersalah telah menularkannya pada orang lain.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Reiny Dwinanda
Petugas medis mengevakuasi pasien Covid-19 berstatus orang tanpa gejala (OTG) untuk diisolasi di Hotel U Stay kawasan Mangga Besar, Jakarta, Senin (28/9). Pengidap Covid-19 bisa mengalami beban mental karena mungkin telah menularkannya pada orang lain.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas medis mengevakuasi pasien Covid-19 berstatus orang tanpa gejala (OTG) untuk diisolasi di Hotel U Stay kawasan Mangga Besar, Jakarta, Senin (28/9). Pengidap Covid-19 bisa mengalami beban mental karena mungkin telah menularkannya pada orang lain.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Ada lebih dari 11 juta kasus Covid-19 di Amerika Serikat. Itu berarti ada jutaan orang yang kemungkinan merasa bersalah karena menginfeksi orang lain.

Beberapa orang mungkin menghindari memberi tahu orang lain yang sempat kontak erat dengannya sambil berdoa bahwa mereka tak menularkannya kepada siapapun. Psikolog klinis asal Amerika Seth J. Gillihan mengatakan, merahasiakan diagnosis Covid-19 tidaklah bijak karena itu dapat memicu terjadinya infeksi tambahan yang sebetulnya bisa dicegah.

Baca Juga

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan guna mengantisipasi beban mental menularkan Covid-19 pada orang lain. Berikut beberapa di antaranya.

Pertama, pertanyakan asumsi anda saat didera rasa bersalah karena cenderung mempercayai hal-hal yang tidak benar. Kesalahan berpikir ini dapat merusak realitas dan menambah rasa bersalah.

Kedua, jika berurusan dengan rasa bersalah terkait Covid-19, ingatlah bahwa virus itu tidak bersifat pribadi.

Ketiga, Anda mungkin menjadi mangsa dari istilah bias dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa "seharusnya saya tahu" kalau telah menularkan dan menyebarkannya kepada orang lain.

"Tetapi kita mungkin mendasarkan penilaian itu pada informasi yang tidak kita miliki ketika kita menyebarkan virus, seperti mengetahui kita positif Covid-19 dan bahwa orang lain akan mendapatkannya dari kami," kata Gillihan dilansir dari WebMD pada Kamis (19/11).

Gillihan mengingatkan, masalah mental yang timbul bisa berupa mengabaikan hal positif, misalnya mengabaikan tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah penyebaran virus. Mungkin saja Anda menularkan virus ke rekan kerja, tetapi Anda telah mencegah penularan lebih banyak karena menghindari pertemuan keluarga.

"Kita semua melakukan yang terbaik untuk mengelola kompromi antara mengendalikan virus dan menjalani hidup kita. Biaya jarak sosial sangat besar - finansial, interpersonal, emosional, spiritual," ujar Gillihan.

Gillihan menekankan manusia bertindak berdasarkan apa yang diketahui saat itu. Kemungkinan besar Anda bertindak dengan niat baik, berdasarkan pemahaman Anda.

Jika Anda menyadari betapa seriusnya Covid-19, Anda mungkin berpikir bahwa seharusnya sudah tahu lebih baik di masa lalu. Tapi asumsi itu akan menjadi semacam bias.

"Jika Anda merasa bersalah, saya bisa menjamin Anda tidak menyebarkannya dengan sengaja. Seandainya Anda tahu Anda akan menulari orang lain, Anda mungkin akan bertindak berbeda," ucap Gillihan.

Gillihan mengatakan, hal terbaik yang dapat dilakukan ketika memiliki informasi baru adalah menerapkannya ke depan. Ia menekankan hidup adalah belajar dan manusia bisa tumbuh dari pengalaman apa pun.

"Kita tidak dapat membalikkan kerugian yang tidak disengaja yang kita timbulkan. Apa yang sudah selesai. Tugas kita sekarang adalah menunjukkan cinta sebanyak mungkin kepada orang-orang di sekitar kita. Cinta dan hubungan, bukan rasa bersalah, akan membawa kita melewati pandemi yang sedang berlangsung ini," kata Gillihan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement