REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Annrene Rowe (67 tahun) sedang bersiap-siap untuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke-10 pada musim panas ini. Seketika dia melihat ada bintik botak di kulit kepalanya. Hari berikutnya, rambutnya yang tebal dan sebahu mulai rontok, mengumpul di saluran pembuangan kamar mandi.
"Saya menangis histeris,” kata Rowe, dilansir dari CNA Lifestyle, Senin (28/9).
April lalu, Rowe dirawat di rumah sakit selama 12 hari dengan gejala virus Covid-19. Dia menemukan cerita yang mirip dari kelompok daring penyintas Covid-19. Banyak yang mengatakan beberapa bulan setelah tertular virus, rambut mereka mulai rontok.
Dokter juga mengatakan mereka melihat lebih banyak pasien dengan rambut rontok. Fenomena ini dipercaya ada kaitannya dengan Covid-19, yang memengaruhi orang terpapar Covid-19 dan orang yang sehat.
Saat normal, orang bisa kehilangan banyak rambut setelah mengalami pengalaman yang membuat stres, misal, penyakit, operasi besar, atau trauma emosional. Namun, saat ini, menurut dokter, banyak yang sembuh dari Covid-19 mengalami kerontokan rambut.
Penyebabnya bukan karena infeksi virus itu, tetapi dari stres secara fisik saat melawannya. Selain itu, banyak orang yang tidak pernah tertular virus juga mengalami kerontokan rambut. Sebab, mereka mengalami stres lantaran kehilangan pekerjaan, kesulitan keuangan, kematian anggota keluarga, atau perkembangan buruk lainnya yang diakibatkan oleh pandemi.
"Ada banyak tekanan dalam pandemi ini. Kami masih melihat rambut rontok karena banyak stres yang belum hilang,” kata profesor dermatologi di Klinik Cleveland, Dr. Shilpi Khetarpal
Sebelum pandemi, Khetarpal tidak pernah melihat pasien dengan kerontokan rambut seperti ini. Sekarang ada sekitar 20 pasien seperti itu setiap pekan.
Salah seorang pasien itu adalah perempuan yang mengalami kesulitan mengajarkan kedua anaknya dan bekerja di rumah. Ada juga seorang guru yang cemas memastikan semua siswanya memiliki komputer dan akses internet untuk belajar daring.
Survivor Corps dan Profesor Peneliti di Indiana University School of Medicine, Natalie Lambert melakukan survei tentang gejela setelah Covid-19 pada Juli lalu. Dari 1.567 anggota penyintas Covid-19, sebanyak 423 orang melaporkan kerontokan rambut yang tidak biasa.
Ketua Departemen Dermatologi di Fakultas Kedokteran di Mount Sinai’s Icahn School of Medicine, Dr. Emma Guttman mengatakan, dia telah merawat banyak tenaga medis yang mengalami kerontokan rambut. Karyawan rumah sakitnya pun demikian.
"Beberapa dari mereka terpapar Covid-19, tapi tidak semuanya. Itu adalah tekanan dari situasi. Mereka terpisah dari keluarga mereka. Mereka bekerja selama berjam-jam,” kata dia.
Kondisi ini seharusnya berlangsung sementara, tapi bisa berbulan-bulan. Menurut para ahli, ada dua jenis rambut rontok yang dipicu karena pandemi.
Pertama, dalam satu kondisi yang disebut telogen effluvium, yakni orang-orang kehilangan lebih dari 50 hingga 100 helai rambut setiap hari. Biasanya dimulai beberapa bulan setelah mengalami stres.
"Pada dasarnya ini melibatkan terhambatnya sistem pertumbuhan rambut," kata dokter kulit di University of California, Dr. Sara Hogan.
Dalam siklus rambut sehat, sebagian besar rambut berada dalam fase pertumbuhan dan persentase kecil dalam fase istirahat pendek. Hanya sekitar 10 persen rambut dalam fase rontok atau telogen.
“Tetapi dengan telogen effluvium, orang-orang lebih banyak rontok, tumbuh lebih sedikit. Hingga 50 persen rambut akan masuk ke dalam fase rontok dan 40 persen masuk dalam fase pertumbuhan," kata Khetarpal.
Hogan menjelaskan, fenomena ini juga dialami beberapa perempuan setelah kehamilan. Biasanya berlangsung sekitar enam bulan. Tetapi jika stres terus berlanjut atau berulang, beberapa orang mengalami kerontokan rambut yang kronis.
Psikiater dan dokter kulit di Central Michigan University, Dr. Mohammad Jafferany menjelaskan, kondisi kerontokan rambut lain yang meningkat saat ini adalah alopecia areata. Kondisi ini terjadi akibat sistem kekebalan tubuh menyerang folikel rambut, biasanya dimulai dengan bercak rambut di kulit.
"Kasus ini diketahui terkait dengan atau diperburuk oleh stres psikologis," kata Jafferany.
Sementara itu, Guttman Yassky mengatakan, dia telah melihat adanya peningkatan yang signifikan pada kondisi. Tidak semua pasien yang mengalami kondisi tersebut terpapar Covid-19. Namun, bagi penderita Covid-19, kondisi itu cenderung berkembang lebih cepat. Tidak hanya menyerang rambut, tapi alis dan bulu mata juga rontok.
Para ahli tidak tahu persis mengapa stres memicu kondisi yang menyerang perempuan dan pria ini. Dr. Sarah Hogan menduga ada kaitannya dengan peningkatan kadar kortisol, hormon stres, atau efek pada suplai darah.
Rambut rontok dapat menyebabkan lebih banyak stres terutama bagi perempuan. Sebab, ini seringkali berhubungan dengan identitas dan kepercayaan diri.
Untuk pengobatan, para ahli merekomendasikan nutrisi yang baik, vitamin seperti biotin, dan teknik pengurangan stres seperti yoga, pijat kulit kepala, atau meditasi kesadaran. Beberapa juga merekomendasikan minoksidil, yakni obat pertumbuhan rambut.
Dalam kasus alopecia areata, Yassky mengatakan, beberapa kasus sembuh tanpa pengobatan dan beberapa dibantu dengan suntikan steroid. Namun, kondisi itu dapat juga menjadi permanen jika tidak ditangani lebih awal.
Orang yang depresi atau trauma karena rambut rontok dapat mengikuti psikoterapi tanpa obat. Karena beberapa antidepresan dan obat anti kecemasan justru dapat memperburuk kerontokan rambut.