REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO -- Perusahaan Johnson & Johnson (J&J) asal Amerika Serikat (AS) pada Rabu (23/9), memulai uji akhir vaksin Covid-19 satu suntikan. Uji coba dilakukan terhadap 60.000 relawan yang dianggap potensial mempermudah proses distribusi dibandingkan vaksin dua suntikan.
"Perusahaan ini mengharapkan hasil uji coba tahap III tersebut dapat diperoleh pada akhir tahun ini atau awal tahun depan," kata dr Paul Stoffels, kepala ilmuwan J&J, dalam konferensi pers bersama dengan pejabat dari Institut Kesehatan Nasional dan pemerintahan Presiden Donald Trump, dikutip reuters, Rabu.
Stoffels menyebut J&J akan memublikasikan rincian protokol kajian dalam uji coba tahap III mereka di situs perusahaan pada hari ini juga. Hal ini menyusul seruan atas peningkatan transparansi dalam pengujian.
Stoffels menambahkan bahwa J&J memulai uji klinis tahap III setelah melihat hasil positif pada pengujian tahap I dan II di AS dan Belgia, yang hasil lengkapnya dijanjikan akan dirilis segera. Keamanan dan tingkat perlindungan pada pengujian terhadap manusia terlihat setara dengan pengujian pada hewan, dan menyebut hasil penggunaan dosis satu suntikan dapat memberikan perlindungan cukup untuk waktu yang lama.
Uji coba tahap akhir J&J akan dilakukan di 215 lokasi di AS, Afrika Selatan, Argentina, Brazil, Chile, Kolombia, Meksiko, dan Peru. Belum jelas kapan perusahaan itu akan mendapat persetujuan regulasi.
Namun, rencananya J&J akan memproduksi sebelum ada pengesahan, yakni dengan target sebanyak satu miliar dosis pada 2021, dan lebih lagi setelahnya. Tujuan dari percobaan tahap akhir ini adalah menguji kemanjuran vaksin untuk mencegah kasus COVID-19 sedang dan berat dengan satu suntikan.
Dibutuhkan 60 persen efektivitas dari percobaan ini, yang menurut protokol studi berarti dapat ditentukan setelah 154 orang terinfeksi, dihitung dengan studi populasi, 15 hari pascavaksinasi. Pihak independen dari Data and Safety Monitoring Board (DSMB) akan mengawasi proses uji coba tersebut, dan melakukan pengamatan pertama mengenai kemanjuran vaksin setelah 20 orang terinfeksi.
Direktur Institut Kesehatan Nasional, dr Francis Collins, mengatakan bahwa tidak ada petugas federal yang masuk dalam tim DSMB. Tim ini hanya terdiri para ilmuwan dan pakar statistik yang sudah sangat berpengalaman.
“Hingga mereka yakin bahwa ada suatu hal yang tampak menjanjikan, tidak akan ada yang disemukan dan dikirim ke Badan Makanan dan Obat (FDA) sehingga siapa pun semestinya merasa terjamin,” kata Collins.