REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta, menilai, pertumbuhan layanan pesan antar makanan daring di Indonesia perlu regulasi keamanan pangan yang memadai. Hal ini guna memberikan rasa aman bagi konsumen.
Menurut Felippa, layanan pesan antar makanan daring, seperti Grab Food dan Go-Food selain memperluas pilihan dan kenyamanan bagi konsumen, juga menciptakan kesempatan ekonomi bagi penjual dan pengirim. Namun, hal itu juga menciptakan tantangan keamanan pangan bagi konsumen yang berbeda dari transaksi secara langsung.
"Saat ini belum ada regulasi jelas terkaitketerlacakan distribusi pangan dari petani ke konsumen (farm to fork) yang dapat memetakan risiko dan mengatasi masalah keamanan pangan jika terjadi," kata Felippa dalam webinar yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (15/9).
Ketika memilih layanan pesan antar makanan, konsumen seakan melepaskan haknya untuk memeriksa dan mengetahui bagaimana pangan yang ia konsumsi dipersiapkan dan dikemas. Hal ini diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu pihak pengirim.
Felippa menjelaskan, regulasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan dibutuhkan agar mampu menjamin keamanan pangan bagi konsumen, menciptakan rasa aman dan kepercayaan. Hal ini juga untuk mendukung tumbuhnya sektor ini dan e-commerce di Indonesia.
CIPS mencatat, layanan pesan antar makanan daring Indonesia diperkirakan tumbuh 11,5 persen setiap tahun dari 2020 hingga 2024. Penjualan makanan berkontribusi sebesar 27,85 persen dari total penjualan e-commerce pada 2018, sehingga menjadikannya kategori terbesar dalam transaksi e-commerce.
Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahun, terutama di masa pandemi. Di mana implementasi berbagai kebijakan pembatasan sosial membuat konsumen lebih nyaman untuk berada di tempat masing-masing.
"Pemerintah perlu melibatkan sektor swasta dalam penyusunan regulasi karena sektor swasta merupakan pihak yang terlibat langsung di dalam layanan ini," kata Felippa.