Senin 24 Aug 2020 15:14 WIB

Happiness in The New Normal

Setelah empat bulan melakukan segala sesuatunya dari rumah, saat ini kita memasuki lagi era baru dalam kehidupan kita: era “new normal”. Bagaimanapun, hidup harus terus berlanjut. Dunia harus terus berputar dan bisnis juga tak boleh berhenti.Ada empat catatan saya tentang bagaimana menghadapi new normal ini, dan semuanya menggunakan sudut...

Rep: Editor (swa.co.id)/ Red: Editor (swa.co.id)
Ilustrasi New Normal (Foto: .akseleran.co.id).
Ilustrasi New Normal (Foto: .akseleran.co.id).

Setelah empat bulan melakukan segala sesuatunya dari rumah, saat ini kita memasuki lagi era baru dalam kehidupan kita: era “new normal”. Bagaimanapun, hidup harus terus berlanjut. Dunia harus terus berputar dan bisnis juga tak boleh berhenti.

Ada empat catatan saya tentang bagaimana menghadapi new normal ini, dan semuanya menggunakan sudut pandang happiness.

Catatan pertama: Jangan terlalu, baik terlalu takut maupun terlalu happy. Happiness is something in the middle, not too much, not too little. Segala sesuatu hanya akan baik bila ia sesuai dengan takarannya. Itulah sesungguhnya prinsip kebahagiaan dan keseimbangan dalam hidup. Menghadapi new normal juga ada takarannya. Terlalu takut akan melumpuhkan kita, membuat kita paranoid, bahkan salah-salah akan merugikan kita sendiri. Pernah melihat orang yang berolahraga sambil tetap menggunakan masker yang menutupi hidung mereka? Bukankah ini sangat berbahaya karena akan membuat kita menghirup kembali karbondioksida (CO2) yang telah kita buang? Ini hanya satu contoh kecil dari perilaku yang melebihi takaran.

Menyikapi new normal dengan terlalu happy juga kurang tepat. Terlalu happy akan membuat kita sembrono, ceroboh, dan akhirnya juga tidak bahagia. Orang yang terlalu happy menganggap masalah sudah selesai, corona sudah berakhir. Ini akan membuat kita lupa mencuci tangan, lupa akan pentingnya kesehatan, dan sebagainya. Terlalu takut ataupun terlalu happy, dua-duanya bermasalah.

Catatan kedua terkait dengan virus itu sendiri: Virus sesungguhnya adalah keseharian kita. Dan, ini sudah terjadi sejak pertama kali manusia menghuni planet bumi ini. Bukankah kehidupan kita bisa berjalan dengan normal di tengah berbagai virus, sebut saja virus penyebab diare, pneumonia, meningitis, HIV, rabies, rubella, flu, cacar air, DBD, hepatitis, chikungunya, dan lain-lain?

Virus sesungguhnya adalah bagian dari keseimbangan alam semesta yang diciptakan Tuhan. Dan, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang sesungguhnya sudah melindungi umat manusia dari gangguan virus ini dengan memberikan imunitas tubuh. Tinggal kitalah yang harus selalu mengusahakan imunitas tubuh ini dengan sebaik-baiknya agar senantiasa terjaga.

Catatan ketiga: Kita hendaknya senantiasa membuka diri terhadap informasi yang mungkin berbeda dengan keyakinan kita. Orang yang bahagia itu adalah yang terbuka dan tidak pernah menutup diri terhadap informasi apa pun. Menurut saya, kita harus membuka diri terhadap informasi yang mengatakan bahwa Covid-19 ini sesungguhnya bukanlah persoalan virus dan pandemi tetapi semata-mata persoalan bisnis. Ini adalah soal hegemoni elite global yang ingin menguasai dunia. Lebih sederhananya lagi: ini cuma persoalan sales, persoalan target bisnis. Ini cuma persoalan elite global yang ingin menjual vaksin yang nantinya “wajib” dibeli oleh semua orang dan semua negara di dunia.

Sesungguhnya sejak dimulainya WFH pertengahan Maret lalu, saya sudah menonton banyak video di YouTube yang mengatakan bahwa Covid-19 ini sesungguhnya hanyalah sebuah konspirasi global yang didukung oleh media massa internasional. Saya meluangkan waktu berjam-jam untuk mendengarkan berbagai ahli di Amerika dan Eropa yang menyampaikan hal yang berbeda dengan media mainstream. Waktu itu, hal ini masih menjadi tanda tanya yang besar bagi saya. Karena itu, saya hanya berbicara dengan orang-orang terdekat dan tidak ingin menyampaikannya kepada publik. Saya masih membutuhkan waktu untuk mencerna semua informasi ini. Dan tentu saja, sebagai seorang figur publik, saya benar-benar harus bertanggung jawab terhadap semua informasi dan pendapat yang saya sampaikan kepada masyarakat.

Maka, selama tiga bulan saya mencerna informasi tersebut, mendengarkan banyak sumber --baik sumber mainstream maupun sumber alternatif. Saringan dari semua itu adalah akal sehat yang sudah diberikan Tuhan kepada setiap kita untuk kita gunakan. Salah satu informasi penting yang saya dengarkan adalah pernyataan Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan RI, bahwa pandemi ini sesungguhnya sudah (hampir) terjadi di tahun 2006 dengan adanya virus flu burung yang jauh lebih dahsyat daripada corona, tetapi virus ini bisa beliau “kalahkan” hanya dengan pendekatan politik dan sama sekali bukan dengan pendekatan kesehatan. Seperti yang kita ketahui, Siti Fadilah kemudian mendapatkan berbagai penghargaan karena keberaniannya menentang hegemoni global.

Sayangnya, ketika saya mencari lagi video-video para ahli di Amerika dan Eropa itu tiga bulan kemudian, ternyata semua video tersebut sudah dihapus. Saya tidak paham apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kita tidak diperbolehkan untuk mengakses informasi yang bertentangan dengan pandangan mainstream. Saya baru sadar bahwa freedom of expression yang selama ini menjadi salah satu ciri terpenting demokrasi di dunia ini sulit dijalankan dalam situasi yang bertentangan dengan keinginan mainstream.

Apa pun yang terjadi, saya hanya ingin mengatakan satu hal, mari kita selalu menjadi orang yang terbuka dengan informasi apa pun, bahkan yang bertentangan dengan keyakinan kita. Ketika kita terbuka, maka masalah-masalah di dunia ini akan terlihat lebih jelas dan lebih jernih.

Catatan keempat: New normal ini hendaknya menjadi sebuah momentum yang baik bagi kita untuk membangun kebiasaan baru. Yaitu, lebih peduli kesehatan, senantiasa menjaga imunitas tubuh, berolahraga dengan teratur, selalu mencuci tangan, memakai masker (terutama jika Anda sedang kurang sehat), juga mengelola pikiran. Untuk sementara ini, kebiasaan bersalaman baik juga jika kita ganti dengan membungkukkan badan sebagaimana yang lazim dilakukan oleh orang Jepang dan Korea.

Selain itu, kita pun perlu membangun kebiasaan untuk bisa bekerja dari mana pun. Kalimat ini mengingatkan saya pada Charles Handy, seorang pakar perilaku organisasi dari Irlandia, yang pernah mengucapkan kalimat yang maknanya baru bisa kita pahami akhir-akhir ini. Katanya, “Pekerjaan adalah sesuatu yang Anda kerjakan bukan sesuatu yang Anda datangi.”

Arvan Pradiansyah *) Motivator Nasional Leadership & Happiness

www.swa.co.id

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan swa.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab swa.co.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement