REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anosmia atau kehilangan indra penciuman pertama kali diketahui sebagai gejala Covid-19 pada akhir Februari 2020. Anosmia resmi masuk ke dalam daftar gejala Covid-19 dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS pada April lalu. Namun, belum diketahui mengapa gejala ini bisa muncul pada pasien Covid-19.
Beberapa studi terdahulu menilai hal ini terjadi karena neuron sensori merupakan tipe sel yang rentan. Neuron sensori berperan dalam mendeteksi dan mengirimkan indera penciuman ke otak.
Akan tetapi, studi terbaru yang dipimpin oleh ahli saraf di Harvard Medical School (HMS) menunjukkan hal sebaliknya. Studi ini ini menemukan tipe sel penciuman merupakan yang paling rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
Tim peneliti mengungkapkan bagian yang rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2 adalah sel-sel pendukung penciuman, bukan neuron sensori penciuman. Menurut hasil studi terbaru ini, neuron sensori penciuman tidak mengekspresikan gen yang mengkodekan protein reseptor ACE2. ACE2 merupakan reseptor atau "pintu" yang memungkinkan virus SARS-CoV-2 untuk masuk ke dalam tubuh sel.
Sel-sel pendukung di epitel penciuman bisa kehilangan fungsinya untuk sementara waktu akibat infeksi SARS-CoV-2. Kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan perubahan pada neuron sensori penciuman. Perubahan inilah yang dinilai dapat menyebabkan gejala anosmia atau kehilangan indera penciuman pada pasien Covid-19.
"Virus corona baru ini mengubah indera penciuman paisen bukan dengan menginfeksi neuron secara langsung, tapi dengan memengaruhi fungsi sel-sel pendukung," jelas salah satu peneliti senior dan associate professor di bidang neurobiologi dari Blavatnik Institute di HMS Sandeep Robert Datta, seperti dilansir Health 24.
Datta mengungkapkan bahwa sebagian besar gejala anosmia pada pasien Covid-19 tidak bersifat permanen. Ketika infeksi sudah diatasi, neuron penciuman tampaknya tidak perlu digantikan atau dibentuk dari awal.
"Tapi kita membutuhkan lebih banyak data dan pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme mendasarinya untuk mengonfirmasi kesimpulan ini," jawab Datta.
Tim peneliti berharap temuan ini dapat menjadi dasar untuk menemukan terapi atas kondisi tersebut. Selain itu, temuan ini juga diharapkan dapat membantu dalam pengembangan diagnostik Covid-19 berbasis penciuman yang lebih baik.
"Kehilangan penciuman dapat memberikan konsekuensi psikologis yang serius dan dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat besar bila kita memiliki populasi dengan kehilangan indera penciuman permanen yang terus bertambah," kata Datta.
Studi terbaru ini emamng berhasil membawa pemahaman yang lebih baik terkait SARS-CoV-2 dan anosmia. Akan tetapi, hasil dari studi ini berbasis observasi tak langsung. Mantan profesor HMS William A Haseltine menilai, boipsi pada jaringan terinfeksi yang menunjukkan bahwa virus benar-benar menginfeksi dan mereplikasi di sel-sel berkelanjutan akan lebih membantu.
"Sebuah observasi mengenai kerusakan dan perbaikan pada jaringan akan lebih menarik," jelas Haseltine.